Malam... Rangkaian waktu sebagaimana siangnya. Deretan menit menunggu pagi.
Aku tak sendiri, aku menunggu datangnya pagi bersama detik, menit, jam dan tahunan waktu yang menaungiku.
Malam yang datang seperti biasa, seperti 10 tahun lalu. Tak ada yang berubah, selalu gelap. Mungkin dia tak mengenalku, mungkin saja dia hanya ada karena sebuah penugasan yang tak ada hubungannya denganku.
Larut...tak lagi berisi. Aku merindukan cinta yang seperti biasanya, seperti sepuluhan tahun lalu.Cinta yang membiarkanku mengisi larut sendirian dan sesekali sapa. Cinta yang membiarkanku mengisi detik dengan denting...
Bukan nada yang kurindukan,bukan kata-kata, tapi cinta yang sama. Rindu dan keinginan ada karena waktu tak sedang tepat dengan rasa, waktu sedang berhenti di tempat lain, bukan tempat dimana rasa sedang menanti.
Cinta selalu ada, tak pernah terbanding. Hari ini pun cinta.. Namun, cinta yang terasa saat pemberinya sudah tak ada adalah kenyataan bahwa rasa melampaui fisik, cinta melampaui kehidupan.
Larut pada malam yang kosong...yang tak lain hanya terisi mimpi yang entah, dan paginya lupa lagi.
Malam yang tak pernah tidak membuatku mengingat cinta itu...cinta yang tak lebur dalam waktu. Cinta yang seringkali merasa bersyukur, namun sesekali tersedak karena luapan kesal karena tak mungkin ada lagi, meski kuganti sekalipun.
Syukur karena cinta yang telah hadir, sempat hadir. Cinta...yang menjadikanku memiliki durasi di bumi, memberi peran, menjadi sesuatu...meski bukan apa-apa. Syukur karena menyadari beberapa orang tak seberuntung aku memiliki kalian. Meski mereka beruntung karena masih memiliki cintanya itu.
Cinta, cinta, cinta... banyak cinta dikatakan dan dipenuhi dengan tuntutan. Banyak cinta yang dipenuhi hasrat kepemilikan. Banyak cinta yang tumbuh untuk sebuah investasi. Tak ada yang salah.
Saking besarnya, cinta mungkin sudah kehabisan masa..yang tertinggal hanya rasa. Terimakasih...pada waktu-waktu yang panjang,hari-hari yang dalam, Yang kesemuanya masih selalu terasa ada hari ini.
Makin banyak manusia datang dan pergi dengan berbagai keinginannya, makin tumbuh cinta pada yang tiada ini. Makin banyak manusia hadir dengan berbagai bentuk cinta baru...makin aku mengerti cinta seperti apa yang kalian tinggalkan di tubuhku, menjadi pemikiran, menjadi perasaan, menjadi tabiat, menjadi jati.
Selamat malam...malam-malam yang tak pernah larut.
Dy Murwaningrum
Matahari dari timur, nafas pertamaku di bumi. Menuju ke barat terus dan terus ke segala arah.
Check out music from Dy Murwaningrum
https://soundcloud.com/dy-murwaningrum
- Dy
- Solo- Jogja- Bandung, Indonesia
- mencari kata-kata, membenturkannya pada setiap bidang dan terus memantul...
Jumat, 08 Februari 2019
Kamis, 22 Maret 2018
Cerita Kosong Perpustakaan: Kemacetan dan Harapan
Di tengah-tengah tulisan-tulisan serius saya, tetiba saja saya fokus pada beberapa orang di perpustakaan yang mulai ramai. Kiranya tidak ada yang jauh berbeda pada jam-jam makan siang. Jika bukan karena makanan dan wifinya sekaligus, perpustakaan-perpustakaan milik pribadi tidak akan ramai antara jam 12 siang hingga jam 2 siang atau selepas jam kerja pukul empat sore. Sedang pada perpustakaan semi konvensional, seperti perpus-perpus kampus yang hanya menyediakan ruangan baca dan wifi, tentu akan tutup di jam 12 siang karena istirahat. Dan pengunjung terusir.
Tipe-tipe perpustakaan konvensional dan semi konvensional yang tutup di jam 12 siang, agaknya membuat emosi kita tiba-tiba berada di ujung-ujung kepala. Memutuskan saat membaca sebelum terhenti sendiri, rasanya memerosotkan rasa penasaran. Seperti saat kita sedang bercerita antusias, tiba-tiba lawan bicara berkomunikasi dengan androidnya.
Siang ini, keramaian gurauan dan khas suara sendok garpu yang berbentur dengan piring serta aroma rokok dari bagian ruang smooking area mulai terbawa udara ke arah telinga dan hidung saya. Ada baiknya akhiri saja acara menulis hari ini. Buka lembar baru dan menulis cerita kosong dari perpustakaan, padatnya jalan raya dan perdebatan pagi tadi.
Bandung, cantik-cantik sadis. Begitu kata saya yang baru menetap 3 tahunan ini. Ada kalanya memang menyejukkan, meneduhkan, ramah dan sangat memberi semangat. Namun, tidak jarang juga melelahkan, pusing juga hinggap sebentar-sebentar. Aroma rokok hampir di setiap sudut jalan atau ruang-ruang nongkrong, membuat saya mengakrabi AC dan mall. Sopir angkot yang marah saat kita menunjukkan rasa terganggu karena asap rokoknya yang keluar sekaligus dari rokok, mulut dan hidungnya, membuat saya lebih senang menyopir sendiri.
Puntung rokok, kulit kacang atau gelas bekas air mineral yang dilempar dari auto window mobil lawas sampai avansa atau pajero sesekali terlihat tiap pagi. Kadang terlihat 2x kadang juga sekali saja. Bukan hanya dari sopir angkot, mungkin dari pegawai bank, dosen, atau anak-anak kecil di mobil jemputan.
Air yang menyapa sambil menggebyur seolah terbahak-bahak dalam parasnya yang coklat campur lumpur atau kadang hitam tiap hujan datang, membuat saya tidak semena-mena lagi mengkonsumsi air kemasan dan stereofom. Lubang-lubang jalan seperti habis dihujani meteor, bertahan hingga durasi tahunan. Hari ini jumpa, esok jumpa, tahun depan pun kadang masih jumpa juga. Yang mengasyikkan adalah tengah kota tetap cantik, secantik pohon-pohonnya yang menebar oksigen tanpa syarat. Anak muda yang santu dan sopan, memberi salam hormat yang membuat saya haru, mencium tangan dan membentuk suka cita di pikiran saya. Membuat saya belajar, bagaimana hidup senantiasa harus dinikmati, disyukuri dan tersenyum.
Bandung yang cantik, ramah, hanya kadang sadisnya membuat beberapa teman saya trauma untuk datang kembali kemari. Bagi saya, kota ini adalah gairah. Pemuda-pemudi baru yang saya temui, membuat saya merasa memiliki hidup dan tentunya harapan, meski masih sedikit. Harapan yang mungkin terlalu muluk-muluk. Harapan untuk mengajak mereka mengobrol tentang buku-buku di perpustakaan yang saya singgahi saat ini. Berbincang tentang pertunjukan sehabis kita tonton. Kegiatan-kegiatan itu yang saya rindukan, sama ketika saya tergabung dalam sebuah Lab Music bernama BnG. Kami berdiskusi setiap hari mulai dari sound gamelan gratis dari DAW Sonar, sampai film transformer yang saya agak tidak paham atau menduga-duga apa sebenarnya Cupu Manik Astagina dalam cerita Ayu Utami . Kumpul di warong kopi dan mengobrolkan ateisme, Ainun Najib, sampai Blues Merbabu atau folklore Hongaria. Baru berhenti kala pagi, kala ayam terbagun, atau speaker masjid mulai "kresek..kresek.. tes...tes..", sebelum Adzan berkumandang.
Namun, begitulah hidup. Kita mungkin akan hanya senantiasa didekatkan dengan orang-orang yang sering berdebat dengan kita. Berseteru tentang apa beda Sastra Pop dan Populer? Berdebat tentang tradisi dan modernitas. Berbantahan tentang tanggal berapa hari ini. Begitulah sedikit banyak kreativitas terasah, ide-ide mulai muncul, menjadikan siapa kita. Bisa apa kita. Seberapa kita. Dan...apakah kita berguna di hidup ini, atau malah menambah luka orang-orang? Terkadang kita merasa ingin menjadi vegetarian, hidup sederhana, memakan hasil tangan kita sendiri. Sebentar kemudian, kita ingin seperti orang-orang yang nampak cerah dalam balutan berbagai merek dagang kelas atas. Namun, secepat kilat kita takut banjir bandang, atau gempa yang teramalkan, sementara kota ini konon belum punya Badan Penanggulangan Bencana yang sangat baik. so....
Kamis, 21 Desember 2017
Siapa manusia dan kehidupannya?
Manusia, berikatan satu sama lain, berkomunikasi dengan ciptaan-ciptaannya sendiri. Sesekali ia dibawa maju, ditarik oleh ciptaannya sendiri, hingga menjauhi dirinya. Sesekali ia dipaksa mundur secara liminal, menuju kenangan kenangannya, meski tak seberapa lama.
Ciptaan manusia yang nyata, halusinasi dan drama-drama yang ingin ia mainkan makin menjauhkan manusia dari dirinya. Manusia menjauh dari pengetahuannya akan dirinya sendiri, mendekati definisi-definisi yang dipajang di etalase keinginan manusia modern. Apa yang tersisa dari dirinya untuk dirinya sendiri? Apa yang disisakan untuk orang lain? Apa yang bangunnya, runtuhkah? Apa yang hakiki? pertanyaan pertanyaan itu selalu bergelantungan, menunggu diambil pemiliknya seperti buah mangga yang matang di pohon, namun dibiarkan hingga jatuh dan membusuk.
Kita terlalu takut diusik oleh pertanyaan dan kegiatan mencari jawaban. Kita melaju dan terus melaju menuju antariksa, menuju relung relung bumi, dan makin tak menjawab pertanyaan. Hanya memenuhi ambisi-ambisi, mengukir prestasi membuat peradaban. Peradaban manusia pun tak pernah abadi, terus-terusan berubah, menjauhi keasliannya.
Sesekali, beberapa manusia merindukan wujud-wujud lamanya, ketradisiannya, kenaturalannya, kealamiahannya. Lalu sekehendaknya dia menjadi turis di bangsa yang dianggap lebih asli. Kehilangan kekuatan untuk memahami apa yang membuat diri bahagia adalah ketidakbahagiaan yang utuh.
Apa yang hakiki? saya melihat banyak hal hidup tapi bukan kehidupan. Apa yang sedang dihidupi dan dihidukan manusia? Hanya dirinya sendiri? Manusia menjawab ambisi-ambisinya dengan istilah peradaban yang mengkiblatkan diri pada dirinya sendiri, seolah lupa bahwa tanpa yang lain kita bukanlah manusia.
Bagi manusia yang tak sempat melihat siklus peradaban, tentu merasa bahwa doktrin-doktrin yang telah hadir padanya lah yang terbenar. Namun bagi yang menyimak siklus peradaban, akan mengatakan tak ada yang abadi dan hidup perlu dijalani dengan bahagia.
Bahagia pun terlalu dinamis definisinya. Hari ini kebebasan, besok uang, besoknya lagi pengetahuan, dan besoknya lagi traveling, minggu depannya lagi berubah dan terus. Kebahagiaan muncul bersamaan dengan harga-harga mahal, dan merek merek dagang terkenal. Kebahagiaan turut diperdagangkan, selerapun turut dipermainkan. Apa kau masih bisa berdiri untuk sekedar melihat kehidupan?
Semua mahluk adalah hidup, namun suara untuk menghidupkan kehidupan seperti nada disonan yang mengganggu, padahal mereka memang wujud.
Pernahkah bertanya pada dirimu, wahai manusia-manusia berpendidikan tinggi, duduk di kursi yang ditinggikan, kursi yang disucikan dan dilindungi oleh segala aturan tertulis serta dilindung manusia-manusia tertentu yang berkepentingan.
Setarakah kertas-kertas pendidikanmu, tinggi kursimu, baju sucimu, dan jabatanmu dengan pengetahuanmu? Setarakah dengan hidupmu untuk kehidupan?
Paling nikmat memang nyaman diantara meja kursi dan whiteboard, paling aman berada dibalik tirai-tirai pakem tanpa pikir lagi, paling enak tak mau mengurangi kenyamanan untuk sedikit saja berbagi rasa aman bagi mahluk-mahluk lain. Sebagian lainnya lagi, adalah mereka-mereka yang terus menutupi tanggungjawab dengan ide-ide dan prestasi.
Ciptaan manusia yang nyata, halusinasi dan drama-drama yang ingin ia mainkan makin menjauhkan manusia dari dirinya. Manusia menjauh dari pengetahuannya akan dirinya sendiri, mendekati definisi-definisi yang dipajang di etalase keinginan manusia modern. Apa yang tersisa dari dirinya untuk dirinya sendiri? Apa yang disisakan untuk orang lain? Apa yang bangunnya, runtuhkah? Apa yang hakiki? pertanyaan pertanyaan itu selalu bergelantungan, menunggu diambil pemiliknya seperti buah mangga yang matang di pohon, namun dibiarkan hingga jatuh dan membusuk.
Kita terlalu takut diusik oleh pertanyaan dan kegiatan mencari jawaban. Kita melaju dan terus melaju menuju antariksa, menuju relung relung bumi, dan makin tak menjawab pertanyaan. Hanya memenuhi ambisi-ambisi, mengukir prestasi membuat peradaban. Peradaban manusia pun tak pernah abadi, terus-terusan berubah, menjauhi keasliannya.
Sesekali, beberapa manusia merindukan wujud-wujud lamanya, ketradisiannya, kenaturalannya, kealamiahannya. Lalu sekehendaknya dia menjadi turis di bangsa yang dianggap lebih asli. Kehilangan kekuatan untuk memahami apa yang membuat diri bahagia adalah ketidakbahagiaan yang utuh.
Apa yang hakiki? saya melihat banyak hal hidup tapi bukan kehidupan. Apa yang sedang dihidupi dan dihidukan manusia? Hanya dirinya sendiri? Manusia menjawab ambisi-ambisinya dengan istilah peradaban yang mengkiblatkan diri pada dirinya sendiri, seolah lupa bahwa tanpa yang lain kita bukanlah manusia.
Bagi manusia yang tak sempat melihat siklus peradaban, tentu merasa bahwa doktrin-doktrin yang telah hadir padanya lah yang terbenar. Namun bagi yang menyimak siklus peradaban, akan mengatakan tak ada yang abadi dan hidup perlu dijalani dengan bahagia.
Bahagia pun terlalu dinamis definisinya. Hari ini kebebasan, besok uang, besoknya lagi pengetahuan, dan besoknya lagi traveling, minggu depannya lagi berubah dan terus. Kebahagiaan muncul bersamaan dengan harga-harga mahal, dan merek merek dagang terkenal. Kebahagiaan turut diperdagangkan, selerapun turut dipermainkan. Apa kau masih bisa berdiri untuk sekedar melihat kehidupan?
Semua mahluk adalah hidup, namun suara untuk menghidupkan kehidupan seperti nada disonan yang mengganggu, padahal mereka memang wujud.
Pernahkah bertanya pada dirimu, wahai manusia-manusia berpendidikan tinggi, duduk di kursi yang ditinggikan, kursi yang disucikan dan dilindungi oleh segala aturan tertulis serta dilindung manusia-manusia tertentu yang berkepentingan.
Setarakah kertas-kertas pendidikanmu, tinggi kursimu, baju sucimu, dan jabatanmu dengan pengetahuanmu? Setarakah dengan hidupmu untuk kehidupan?
Paling nikmat memang nyaman diantara meja kursi dan whiteboard, paling aman berada dibalik tirai-tirai pakem tanpa pikir lagi, paling enak tak mau mengurangi kenyamanan untuk sedikit saja berbagi rasa aman bagi mahluk-mahluk lain. Sebagian lainnya lagi, adalah mereka-mereka yang terus menutupi tanggungjawab dengan ide-ide dan prestasi.
Minggu, 23 Juli 2017
Semoga kewarasan meledak bersamaan dengan kesadaran yang sedikit dipaksakan.
Semoga kewarasan meledak
bersamaan dengan kesadaran yang sedikit dipaksakan.
Kau selalu mampu menjawab saat
ditanya berapa luas atau keliling lingkaran, namun tidak pernah paham saat
diatanya apakah lingkaran itu? Dan mengapa dia harus ada. Bahkan kau sendiri
tidak pernah menanyakannya. Hidup bagimu hanya bergerak dalam lingkaran yang
tak pernah kau ketahui sendiri.
Jawaban yang subjektif namun
multitafsir atas pertanyaanmu selalu menjadi media persembunyian. Ada hasrat
dan dendam yang masih butuh yang kau sembunyikan untuk melonggarkan gerakmu.
Ada yang harus kau ketahui beda dari kemerdekaan dan kebebasan.
Tidak ada persembunyian dalam kemerdekaan, namun ada ruang-ruang pribadi yang dihargai disana. Dan kebebasan direbut untuk dibenturkan lagi pada himpitan-himpitan baru, resiko-resiko baru. Berulang begitulah kebebasan yang selalu diagung-agungkan untuk direbut.
-------
Hujan selalu meluruhkan sebagian
tanah-tanah di pot-pot bunga dan menjadikan bunga-bunga kehabisan nutrisi lalu
perlahan enggan tumbuh dan mengembang lagi.
Menjagai kehidupan adalah tujuan setiap mahluk yang bernyawa, namun menjagai rasa selelah menjaga bergeraknya dedaunan karena angin kencang.
Kebebasan seringkali tanpa perlu santun meminta tempat dimana saja dimaui, mirip angin kencang yang minta lewat memporakporandakan segala.
Mana lebih kau banggai? Menjadi jiwa yang merdeka? ataukah memohon dan mengaisngais kebebasan dan kembali memohon untuk mmenebusnya saat kebebasanmu telah meluruhkan sebagian cintaku menjadi geram.
Jika masih manusia tentu ada pasrah yang terus terselip dalam setiap tarikan nafas, dialah pasrah, yang menjaga kita tetap waras meski logika tidak mampu lagi mencari formula-formula.
Tidak ada yang lebih kujaga dari kewarasan...bukan sekedar rasa atau logika. Terbangkanlah jiwamu sendiri melalui kebebasanmu hingga kau paham arti “merdeka”..
Dy
Minggu, 16 Juli 2017
Cinta,Nasib dan Pasungan
Cinta,Nasib dan Pasungan
Saat datangmu, adalah saat dukaku yang mulai meluruh dalam
penerimaan, saat tubuhmu dipenuhi pasungan dan luka-luka. Saat demi saat nasib
bergiliran turun dan jatuh menimpa manusia termasuk kita. Ada yang membuat kita
menangkapnya penuh bahagia, ada yang membuat kita menghindar dan berlari tak
tentu arah, ada yang membuat kita terseok jatuh setelah ditimpanya. Ada juga
yang membuat kita terjatuh dan kemudian bersyukur, ada yang membuat kita
bahagia namun sulit kemudian. Setiap benda yang datang selalu bermassa,
berdaya, dan butuh waktu. Dalam sebuah benda membawa konteksnya/unsur-unsurnya
masing-masing. Begitu juga luka dan pasunganmu, begitu juga duka ku yang luruh.
Setiap hal membawa syarat dan akibat.
Nasib bergelantungan diantara langit dan kepala kita, entah
kapan akan turun tiba-tiba dibawa angin, disambar petir atau diluruhkan hujan. Sayangnya
memori manusia setipis kertas yang bisa bubuk habis dimakan masa, dilumat air
seperti bubur-bubur kertas kemudian menjadi kertas baru lagi, dibawa kabur
udara yang bercampur debu-debu. Kita lupa bagaimana kita bermula di muka bumi,
bagaimana kita bermula dapat berjalan dan berlari atau bersepeda, lupa
bagaimana bermula dapat makan, menggunakan baju dan bahkan mengoperasikan
benda-benda sekitar kita. Akhirnya pun kita lupa bagaimana kesakitan bersarang
menjadi karakter, bagaimana keceriaan mengerak menjadi pola pikir dan bagaimana
pula kesan-kesan kehidupan membentuk sifat dan sikap kita.
Nasib adalah satu latar dari nilai kedirian kita hari ini. Nasib
bersyarat karena setiap langkah adalah komitmen dan kesediaan. Dalam nasib,
janji seperti tak perlu dilegalisasi karena kita mengerti bahwa tanpa
menepatinya maka nasib pun berubah. Nasib selalu dapat dipilih meski kadang pilihannya
semua menyulitkan dan buruk, namun nasib seringkali baik dan membahagiakan
meski konsekuensi selalu hadir sebagai konteks nasib.
Terpasung, terteror, serasa terperangkap dan terjebak. Pasungan
nyata akan menggerakkan sebebas-bebasnya pikiran dan tekad. Pasungan abstrak akan
menggerakkan tubuh untuk tak kenal takut atau malah makin tak berdaya. Kita
sepertinya selalu merasa lebih pandai dari pada logika, lebih peka dari pada
perasaan. Ego yang menggerakkan kita
pada keinginan yang kadang tak kita inginkan. Keinginan yang muncul karena
keinginan sekitar, keinginan teror. Keinginan dan kita memang tak selalu
bersahabat. Pasungan bukan cara untuk menguasai sesuatu, pasungan adalah cara
untuk menakutnakuti saja. Pasungan dan teror adalah jenis yang sama.
Untuk yang tercinta… menggeloralah untuk mimpimu sendiri. Pasungan
apapun tidak akan mampu menjeratmu. Cinta bukan sejenis pasungan dan teror,
hanya saja cinta tidak selalu seperti inginmu; datar seperti jalan di tol
tengah kota, tak ada ombak tapi tidak menghanyutkan seperti air pada akuarium,
tak ada badai seperti angin dari kipas angin. Cinta adalah natural, dia akan
menciprat mukamu saat kau pukul permukaannya dengan tenaga, dia akan memberi
kesegaran pagi saat kau kegerahan semalaman, dia akan membuatmu gelagapan dan
hampir tak tertolong seperti saat kau berenang di air deras sementara kau tau
kau tak mampu berenang. Cinta juga bersyarat dan berakibat, layaknya nasib yang
menggelantung di angkasa. Jika cintamu tak beralasan, itu hanya tentang dirimu
yang belum mampu memahami tentang alasannya. Jika cintamu tidak berdampak
apapun pada hidupmu, mungkin karena belum ada perenungan untuk menyadari. Setiap
hal yang kita pilih pastilah sama beralasan dan berakibat.
Seperti tahunan lalu, aku masih mengatakan padamu hal yang
sama memasung adalah menyiksa, menakutnakuti dan hanya melambatkan
letupan-letupan yang kemudian menjadi ledakan besar. Teror hanya kata yang
dipenuhi bualan, kebohongan, simbol ketakutan seorang yang tidak mampu memperlakukan
baik dan berkomitmen. Jika kau merasa fisikmu terpasung terbangkanlah
pikiran-pikiranmu, wawasanmu menembus dinding rumah dan batas-batas negara. Jika
jiwamu yang terpasung, liarlah mencari dimana bunga tumbuh diantara
batu-batuan.
Jika aku telah memasungmu, terbanglah… membumbung tinggilah…
tembuslah setiap lapisan apapun yang ingin kau lewati, selagi usiamu belum tua,
rambutmu masih lebat dan hitam, tulang-tulangmu masih mampu melompati
tebing-tebing. Jangan pernah menunggu dijemput senja dalam siksaan, dalam pasungan.
Aku ingin senantiasa menjadi cinta bukan teror atau pasungan
yang menjerat. Aku ingin jadi bara dalam geliat apimu yang menyala dan menjadi
gas yang memadamkannya saat nyalanya ditakuti orang-orang. Mungkin cinta bukanlah
baju hangat yang melindungimu dari salju negara empat musim, namun cinta selalu
bersamamu memberi pelukan dan diskusi-diskusi hangat tentang Heiddeger dan
Hannah yang pikirannya kau pakai bercermin setiap harinya.
Nasib cinta bukan diciptakan sebagai sesuatu yang tak
bergejolak, cinta bukan hari-hari panjang yang tenang tanpa keributan, cinta juga sebagaimana mahluk tuhan lainnya. Dia juga bergejolak, riang, marah, dan sendu…tapi kau
berhak terbang tinggi tanpa pasungan jika cinta telah berubah wujud dan
memasungmu…
Selasa, 11 Juli 2017
YOUTUBE: ANTARA KEBARUAN TEKNOLOGI DAN MENIRU, (WAJAH BARU BUDAYA ORAL/LISAN)
YOUTUBE: ANTARA
KEBARUAN TEKNOLOGI DAN MENIRU
(WAJAH BARU
BUDAYA ORAL/LISAN)
Youtube
tentu bukan suatu hal yang asing, serupa media sosial bagi pengguna andorid. Beragamnya content dalam youtube adalah
perwujudan dari kompleksitas kebutuhan manusia akan audio visual. Mulai dari
kebutuhan perut, pengetahuan, emosi, sampai pada persoalan biologis dan
kebutuhan private manusia pun siap disantap. Cara memasak, belajar bermain
biola, cara mengerjakan soal matematika, sampai cara menyetrika cepat, pijat
refleksi sampai pijat plusplus. Rasanya sangat sulit bagi manusia diera modern
untuk bersembunyi dari perkembangan teknologi. Rasanya apapun topeng yang ingin
kita gunakan, youtube telah menyediakan wajahnya.
Teknologi
mendorong sekaligus menarik kita pada penemuan-penemuan yang semakin lama semakin
terasa janggal jika tidak turut menggunakannya. Teknologi berada dibelakang
dan mendorong kita maju ke depan, sekaligus berada jauh di depan dan menarik
kita untuk berlari cepat-cepat mengejar zaman. Teknologi berperan dalam menyuplai
pengetahuan, pemikiran, dan tak jarang mempengaruhi perasaan termasuk sebagai media
menyampaikan rasa yang pribadi. Hal yang terdengar dan terlihat sangat
mempengaruhi pembentukan pemikiran kita. Telinga dan mata adalah dua dari indra
manusia yang cukup berperan untuk menangkap kesan dan menerima pesan.
Mata
seringkali melihat hal yang mungkin tidak ingin kita lihat, artinya mungkin
terlihat atau hanya sepintas lalu lewat. Sama halnya yang terjadi pada telinga.
Bunyi melintas pada telinga, kita yang memilih mana yang kita dengarkan dan mana
yang harus diabaikan. Hampir dalam setiap pembelajaran baik yang bersangkutan
dengan etika maupun pengetahuan, mata dan telinga merupakan senjata yang utama.
Terlebih bagi kita yang tinggal di nusantara ini. Meski ada yang bersifat
tertulis namun dalam keseharian, kita lebih banyak menggunakan mata dan telinga
untuk menangkap tatacara, pelajaran, sikap, dan menganggap mana hal yang
terlarang dan diijinkan.
Bukan
tanpa akar mengapa kita lebih suka belajar melalui audio visual. Budaya mendengar
dan melihat tanpa tulisan di Nusantara telah biasa dilakukan sejak ratusan atau
ribuan tahun lalu, bahkan hampir semua tradisi yang kita warisi disampaikan
secara tidak tertulis.
Tanpa Tulisan
Tanpa
tulisan biasa dikenal dengan istilah budaya oral/lisan, yaitu menyampaikan
pesan tanpa aksara. Mulut memiliki peran yang penting, bahkan kita memiliki
budaya tutur yang cukup tinggi melalui dongeng, mitologi, dan larangan-larang
yang langsung dipatuhi secara dogmatis.
Dalam
budaya Jawa kita mengenal dengan istilah “Gethok
Tular”, jika dicari padanannya mungkin mirip dengan “dor to dor” atau dari pintu ke pintu. “Gethok Tular” adalah upaya penyampaian berita melalui mulut ke mulut,
dimana seseorang dengan sukarela menyampaikan suatu hal pada orang lain. Begitulah
sistem budaya oral bertahan pada lintas generasi.
Budaya
oral artinya mengandalkan ingatan, menaruh kuat-kuat hal-hal yang tidak
tertulis pada memori, tentang apa yang kita pelajari. Arti yang lain adalah
kesementaraan (dinilai sebagai kesementaraan karena dalam ucapan cukup mudah
diingkari, atau dilupakan bahkan hilang begitu saja sebelum sempat disampaikan
pada yang lain karena keterbatasan manusia). ‘Tanpa tulisan’ atau oral bukan
selalu hanya terhubung pada kata-kata yang diucapkan (rasa yang dikecap lidah,
disentuh kulit, aroma yang ditangkap hidung dll), namun juga termasuk
suara/nada, tehnik/metode yang disampaikan dengan praktik tanpa tulisan. Budaya
oral merupakan upaya penjagaan tradisi, bahasa, karya dan budaya secara turun temurun,
meski beberapa hal kita tidak dapat mengkonfirmasi kebenarannya. Hal ini
terbukti dengan masih banyaknya pengetahuan yang terus terjaga hingga berabad-abad
meski tanpa diaksarakan. Hampir semua ilmu memasak kita warisi tanpa tulisan,
ilmu arsitektur tradisional, pertanian tradisional, dan lagu-lagu tradisi
nusantara.
Budaya
non tulis bukan berarti budaya rendah. Non tulis adalah upaya mencapai
kebijaksanaan bagi budaya tertentu. Non tulis dan tulis sama-sama cara sebuah
kebudayaan berjalan dari generasi ke generasi. Tulisan dapat membawa kita pada
imajinasi tentang ribuan tahun lalu, memainkan musik-musik klasik dan romantik
abad 17, 18, 19, memahami pemikiran melalui dokumentasi sastra dan
lukisan-lukisan dizaman Mideaval atau Renaisance. Tulisan sering dikatakan sebagai
keabadian, keterbukaan. Hal-hal yang sudah ditulis artinya sudah harus siap
untuk direspon siapa saja, sangat terbuka. Saat kita mulai menoreh tulisan,
artinya sekaligus kita siap mempertanggungjawabkan.
Tulis
maupun non tulis, keduanya perlahan sudah memberi busana baru pada teknologi.
Wajah teknologi lebih cantik sebagai media penyampai pesan yang akrab dengan
keduanya (tulis-non tulis). Menulis adalah memelihara pemikiran. Dengan menulis
maka hal-hal yang sudah kita lakukan, kita produksi, dan kita alami di masa
lalu dapat dibaca dan menjadi pelajaran generasi selanjutnya. Mereka adalah
jembatan antar zaman, kendaraan untuk melintasi zaman ke zaman. Non tulis sama halnya menjaga diri dalam
menyampaikan pemikiran. Dalam budaya oral, martabat manusia dijaga, tergantung
pada lidahnya (ajining diri gumantung ing
lati_salah satu falsafah Jawa tentang keharusan menjaga lisan, karena harga
diri bermula dari lisan).
Teknologi
selalu pandai memanfaatkan kebiasaan kita, memfasilitasinya. Budaya oral pun
mencoba untuk diwadahinya. Dalam teknologi, budaya tulis dan non tulis seakan
diringkas sehingga kita merasa mudah untuk menerimanya. Kalimat yang
ditampilkan, baik dalam tulisan maupun oral di media sosial seakan-akan adalah
citra kita. Orang memahaminya sebagai identitas diri kita, tanpa harus tahu
kita siapa, latar belakang kita apa, mendapatkan ilmu dari mana. Saling meniru
adalah sah asal tak diketahui, meski jika terungkap maka bully an luar biasa
yang akan didapatkan.
Youtube,
produk budaya dan budaya lisan, adalah keterkaitan yang sangat erat. Youtube
merupakan pilihan mudah, murah sebagai perpanjangan presentasi karya yang kita
bikin. Pembelajaran melalui youtube pada bidang-bidang yang terbiasa
disampaikan secara oral lebih dapat diterima. Bahkan beberapa kebiasaan berubah
pada pembelajaran yang seharusnya kita pelajari secara tertulis, dapat
diringkas melalui audio visual.
Kesuksesan
yang kita tuai karena mempercayai youtube sebagai media promosi tentu akan
berdampak pada popularitas. Tidak jarang saya mengamati tentang berapa lama
nama kita bertahan untuk dikenal orang. Apakah hanya sebatas di layar saja,
atau memang benar begitu dalam dunia nyata. Akun-akun rahasia seringkali
menjadi guru, bintang dan panutan. Youtube menjadi salah satu media belajar. Belajar
apa saja. Pendekatannya dengan mendengarkan ceramah serasa langsung di hadapan
kita. Kita dapat dengan cepat menyerap tutorial-tutorial karena menyimak dengan
mata dan telinga. Meski tidak kita pungkiri manfaatnya luar biasa. (Para
pendidik juga memiliki kecenderungan mempelajari banyak hal yang akan
disampaikan pada siswa melalui youtube, akses yang sama juga bagi para siswa)
Youtube
bersifat searah, kita boleh menyimak mengikuti dan atau membuangnya (tidak
mengikutinya). Teknologi sudah hampir menguasai
semuanya. Murid-murid tak perlu datang ke sekolah, pemain musik tak perlu
kursus apalagi sekolah musik, ibu- ibu tak perlu menanyai ibunya tentang
resep-resep masakan. Saya pun sepakat dengan manfaatnya dan efisiennya, namun
ada yang tertinggal yaitu makna. Reinterpretasi lagu sulit dicari, karena yang
ada adalah peniruan nada yang sama persis namun entah bagaimana dengan kesan
yang ingin dibangun. Murid yang tak perlu datang ke sekolah akan bisa
mengerjakan soal-soal yang sama namun bagaimana dengan cara mereka mengenali
soal-soal yang aplikatif pada lingkungannya. Resep-resep masakan dapat kita
ikuti namun rasa masakan ibu yang kita cari, bagaimana?
Mewakilkan mungkin tidak sulit, tapi
tidak hadir tetaplah ketiadaan. Sebagaimana rasa yang ekspresinya mudah
disampaikan lewat berbagai media tak nyata, namun ketidakhadiran adalah
ketiadaan (meski manusia sebagai mahluk yang adaptatif mampu memaksakan rasa
mengikuti hal-hal yang dirasa populer atau banyak digemari yang lain). Ada
bagian tubuh manusia yang memproduksi rasa, bisa diekspresikan namun tidak
selalu bisa ditransfer persis sama meski berumus tetap dan tepat.
Teknologi
bukan musuh, dia adalah teman yang sesekali mengecewakan dan sekali waktu
menenangkan. Sedikit maksud pribadi menyindir seorang teman, bahwa tidak ada
hal yang pantas diagungkan setinggitingginya termasuk teknologi.
Selamat
menjadi bijak, selamat mengelola teknologi agar kita tetap dapat menjadi
manusia dengan citarasa manusia.
Sumber
Bacaan:
1.
Metode Kajian Tradisi
Oral (Kumpulan artikel dan jurnal), Yayasan Obor
2.
Virus Setan, Slamet
Abdul Sjukur, Art Music Today
3.
Digital Culture ,
Oxford University Press
Senin, 10 Juli 2017
Menelusur Kembali Ucapan Terimakasih yang Tersisih
Menelusur Kembali Ucapan Terimakasih yang Tersisih
Berawal dari seporsi makanan yang kita santap
bersama, lalu penyadaran atas kelezatannya. Jarang tersadari bahwa kemampuan
mengecap, mengunyah dan menelan makanan dengan baik adalah bagian kesehatan
tubuh yang dianugrahkan tidak pada setiap makhluk. Makanan dan unsur-unsurnya,
bahannya, cara pembuatannya, kokinya juga bagian lain yang tidak terputus dari
kenikmatan mengecap. Mensyukuri kemampuan kita membeli makanan dari pekerjaan
yang diberikan pada kita karena ilmu, tenaga, waktu dan keahlian kita (mungkin dibagikan
secara cumacuma, acak dan bermisi) adalah kesinambungan lain dari terimakasih
kita pada makanan. Cinta adalah rasa lain yang mengalir saat kita menyantap
makanan. Nikmatnya menyantap seporsi makanan sederhana bersama orang yang kita
cintai (mungkin suami, anak, ibu, adik, sahabat dll). Terimakasih masih banyak
cabang dan rantingnya meski tentu pasti berakar.
Berterimakasih tentu lebih baik jika
menyeluruh, namun rasanya begitu sulit jika harus mengeja satu per satu kenikmatan
meski ada muara yang tak mungkin kita ingkari yaitu Tuhan. Dialah akar dari
semua tumbuhan kenikmatan. Dia menciptakan banyak hal sebelum kita, alam
semesta dan manusia sebelum kita. Dia juga menciptakan yang bersamaan dengan
kita. Dia juga menciptakan sesuatu yang akhirnya akan dipertemukan dengan kita,
juga hal-hal yang suatu waktu akan berpisah pula dengan kita. Dia juga
menciptakan sesuatu yang akan kita tinggalkan, meneruskan langkah kita. Muara
memang selalu Dia, namun semesta dan isinya adalah hal tampak yang pantas kita
hargai sebagai diri kita sendiri, sesama makhluk, sebuah karya dan mahakarya.
Tuhan adalah kreatornya.
Semesta:
Terbatas dan Tak Terbatas
Terimakasih selalu bertingkattingkat,
bersambungsambung, seperti syaraf dalam tubuh kita yang manjadikan satu gerak
utuh manusia yang berinteraksi dengan semestanya. Ada bumi yang lebih dulu
lahir dan kemudian harus tetap ada meski sampai kita tiada. Terimakasih
terhubung pada diri kita dan kedalamannya baik yang ragawi maupun rasa.
Terimakasih tidak semestinya ditujukan pada hal-hal material saja namun juga
yang tak tampak, spirit, rasa, tekad, niat dan yang Maha menggerakkannya. Tuhan
menampakkan cintanya pada bentuk yang tak tersadari manusia. terimakasih juga
tidak harus melulu vertikal menuju yang transenden namun juga yang horizontal
terlihat.
Semesta adalah salah satu muara kecil dari
sebuah kata terimakasih yang jarang tersadari. Diucapkanpun kadang terlupa,
apalagi disampaikan dalam gerak tubuh manusia, dalam langkah dan perilakunya.
Manusia terlihat sebagai mahluk yang takmau terganggu kenyamanannya sedikitpun,
dan senantiasa ingin bersenang-senang dengan memuncak dengan sedikit lupa bahwa
bahagia itulah pencapaian. Kadang bahagia datang setelah getir dan sendu.
Semesta adalah ruang sebagai wadah fisik,
roh, maupun pemikiran. Semesta adalah ruang percintaan kita dengan sesama
mahluk semesta, ruang pencapaian kebahagiaan dan selanjutnya kita tinggalkan.
Semesta juga ruang bersemayamnya roh yang kasat mata melalui tubuh. Tubuh dan
kerumitan sistemnya adalah semesta bagi roh, dimana rasa pemikiran dan jiwa
juga ada di dalamnya. Semesta itu bertingkattingkat pula, semesta hati, semesta
pemikiran, semesta tubuh (fisik), semesta alam, semesta jagad. Dalam pandangan
Jawa, seorang harus menyadari “sangkan paraning dumadi”, yaituu tentang asal
muasal dari mana datang dan kemana akan pergi. Semesta mewadahi kita dalam
kebebasan namun sekaligus keterbatasan, ketakutan.
Terimakasih pada kebebasan hal-hal yang tak
benda. Cara berpikir, cinta yang kita rasakan, kebencian yang dipendam adalah
kebebasan mutlak dalam jagad semesta non fisik diri kita. Keterbtasan untuk
mengungkapkan semuanya dengan lugas dan gamblang adalah bagian keberuntungan
yang kita terima lainnya. Berterimakasihlah jika kita masih diberi kekuatan
untuk mampu menjaga perasaan, kebahagiaan dan kehidupan baik orang lain meski
ada kebebasan rasa yang kita pendam sendiri. Perumpamaan lain yang kongkrit
tentang keterbatasan yang menguntungkan adalah keterbatasan keahlian kita. Jika
saja kita mampu dalam segala hal, maka tidak ada fokus dan penemuan yang kita
lakukan untuk orang-orang di sekitar kita. Keterbatasan pendengaran hingga
frekuensi tertentu juga menjadi keuntungan dari gangguan ribuan mahluk yang beraktivitas
dalam berbagai frekuensi. Keterbatasan meliha hal yang tak kasat juga menjadi
keuntungan tersendiri, meski beberapa diantara kita memiliki kemampuan spesial
namun tentu bagi yang memilikinya pun dapat menempatkannya sendiri.
Semesta mewadahi yang bebas, sebebasbebasnya
berkeliaran pada ruang tanpa wujud. Semesta adalah wadah yang terbatas, karena
setiap yang berujud mengalami kerusakan maka dalam kebebasan kita ada pembatas yang menjaga
dari rusaknya sebagian semesta.
Mungkin cukup sekali saya pun menyadari
betapa “terimakasih” tidak pantas diucapkan pada satu mahluk saja, namun mengucapkannya setiap saat juga rasanya sangat
sulit dan syukur adalah salah satu cara mewakili keseluruhan ucapan
terimakasih. Individu sering membuat muara
terimakasih pada hal-hal yang memang sengaja dipilihnya sendiri, tanpa
membiarkan logikanya menelusur. Terimakasihnya ditujukan pada hal yang dia
maui, yang membahagiakannya sendiri. Pada satu wujud saja yang diingini. Terimakasih
sering hanya diucapkan untuk tercapainya hal-hal yang paling diingini, jika
tidak maka dianggaplah kesialan. Syukur memang tidak bisa dipaksakan, manusia
memilih waku kapan dia bersyukur dan berterimakasih.
Mencoba menyadarkan diri melalui
pengalaman-pengalaman lalu,
tentang terimakasih yang tersisih, terimakasih yang menguap karena kekecewaan.
Seringkali tidak disadari bahwa langkah sudah sedemikian jauh lengkap dengan
kebahagiaan dan kekecewaan, namun secara keseluruhan ada kenikmatan yang terus
bisa dirasa. Berterimakasih untuk kenikmatan yang kita punya memang harus
menguras logika untuk menelusur dan menyadarinya. Disitulah rasa syukur sering
bermula, logika. Karena setiap manusia sering merasa menderita, penderitaan
yang disebabkan manusia lain, penderitaan yang disebabkan tidak terpenuhinya
keinginan. Terkadang kita hanya merasa biasa saja (tidak sedih, tidak juga
sial) namun kita merasa “menderita” hanya karena 1 saja keinginan yang tidak
terpenuhi.
Jika kembali pada menelusur kenikmatan,
apakah sanggup jika 1 kenikmatan yang saat ini kita rasakan diambil oleh
pemiliknya? Terlalu sok religius mungkin, namun setidaknya cukup kita sadari
bahwa kehilangan 1 kenikmatan saja dari sekian kenikmatan yang sudah kita
rasaka, tentu sangat berat.
Berterimakasih adalah kemampuan logika
menelusur kenikmatan, berterimakasih pada siapa saja yang mahluk dan yang
khalik. Yang hidup dan yang mati. Yang tampak dan yang tidak.
Langganan:
Postingan (Atom)