Check out music from Dy Murwaningrum

https://soundcloud.com/dy-murwaningrum

Foto saya
Solo- Jogja- Bandung, Indonesia
mencari kata-kata, membenturkannya pada setiap bidang dan terus memantul...

Jumat, 08 Februari 2019

Tak Ada Malam yang Larut

Malam... Rangkaian waktu sebagaimana siangnya. Deretan menit menunggu pagi.
Aku tak sendiri, aku menunggu datangnya pagi bersama detik, menit, jam dan tahunan waktu yang menaungiku.

Malam yang datang seperti biasa, seperti 10 tahun lalu. Tak ada yang berubah, selalu gelap. Mungkin dia tak mengenalku, mungkin saja dia hanya ada karena sebuah penugasan yang tak ada hubungannya denganku.

Larut...tak lagi berisi. Aku merindukan cinta yang seperti biasanya, seperti sepuluhan tahun lalu.Cinta yang membiarkanku mengisi larut sendirian dan sesekali sapa. Cinta yang membiarkanku mengisi detik dengan denting...

Bukan nada yang kurindukan,bukan kata-kata, tapi cinta yang sama. Rindu dan keinginan ada karena waktu tak sedang tepat dengan rasa, waktu sedang berhenti di tempat lain, bukan tempat dimana rasa sedang menanti.

Cinta selalu ada, tak pernah terbanding. Hari ini pun cinta.. Namun, cinta yang terasa saat pemberinya sudah tak ada adalah kenyataan bahwa rasa melampaui fisik, cinta melampaui kehidupan.

Larut pada malam yang kosong...yang tak lain hanya terisi mimpi yang entah, dan paginya lupa lagi.
Malam yang tak pernah tidak membuatku mengingat cinta itu...cinta yang tak lebur dalam waktu. Cinta yang seringkali merasa bersyukur, namun sesekali tersedak karena luapan kesal karena tak mungkin ada lagi, meski kuganti sekalipun.

Syukur karena cinta yang telah hadir, sempat hadir. Cinta...yang menjadikanku memiliki durasi di bumi, memberi peran, menjadi sesuatu...meski bukan apa-apa. Syukur karena menyadari beberapa orang tak seberuntung aku memiliki kalian. Meski mereka beruntung karena masih memiliki cintanya itu.

Cinta, cinta, cinta... banyak cinta dikatakan dan dipenuhi dengan tuntutan. Banyak cinta yang dipenuhi hasrat kepemilikan. Banyak cinta yang tumbuh untuk sebuah investasi. Tak ada yang salah.

Saking besarnya, cinta mungkin sudah kehabisan masa..yang tertinggal hanya rasa. Terimakasih...pada waktu-waktu yang panjang,hari-hari yang dalam, Yang kesemuanya masih selalu terasa ada hari ini.

Makin banyak manusia datang dan pergi dengan berbagai keinginannya, makin tumbuh cinta pada yang tiada ini. Makin banyak manusia hadir dengan berbagai bentuk cinta baru...makin aku mengerti cinta seperti apa yang kalian tinggalkan di tubuhku, menjadi pemikiran, menjadi perasaan, menjadi tabiat, menjadi jati.

Selamat malam...malam-malam yang tak pernah larut.

Kamis, 22 Maret 2018

Cerita Kosong Perpustakaan: Kemacetan dan Harapan



Di tengah-tengah tulisan-tulisan serius saya, tetiba saja saya fokus pada beberapa orang di perpustakaan yang mulai ramai. Kiranya tidak ada yang jauh berbeda pada jam-jam makan siang. Jika bukan karena makanan dan wifinya sekaligus, perpustakaan-perpustakaan milik pribadi tidak akan ramai antara jam 12 siang hingga jam 2 siang atau selepas jam kerja pukul empat sore. Sedang pada perpustakaan semi konvensional, seperti perpus-perpus kampus yang hanya menyediakan ruangan baca dan wifi, tentu akan tutup di jam 12 siang karena istirahat. Dan pengunjung terusir.

Tipe-tipe perpustakaan konvensional dan semi konvensional yang tutup di jam 12 siang, agaknya membuat emosi kita tiba-tiba berada di ujung-ujung kepala. Memutuskan saat membaca sebelum terhenti sendiri, rasanya memerosotkan rasa penasaran. Seperti saat kita sedang bercerita antusias, tiba-tiba lawan bicara berkomunikasi dengan androidnya. 

Siang ini, keramaian gurauan dan khas suara sendok garpu yang berbentur dengan piring serta aroma rokok dari bagian ruang smooking area mulai terbawa udara ke arah telinga dan hidung saya. Ada baiknya akhiri saja acara menulis hari ini. Buka lembar baru dan menulis cerita kosong dari perpustakaan, padatnya jalan raya dan perdebatan pagi tadi.

Bandung, cantik-cantik sadis. Begitu kata saya yang baru menetap 3 tahunan ini. Ada kalanya memang menyejukkan, meneduhkan, ramah dan sangat memberi semangat. Namun, tidak jarang juga melelahkan, pusing juga hinggap sebentar-sebentar. Aroma rokok hampir di setiap sudut jalan atau ruang-ruang nongkrong, membuat saya mengakrabi AC dan mall. Sopir angkot yang marah saat kita menunjukkan rasa terganggu karena asap rokoknya yang keluar sekaligus dari rokok, mulut dan hidungnya, membuat saya lebih senang menyopir sendiri. 

Puntung rokok, kulit kacang atau gelas bekas air mineral yang dilempar dari auto window mobil lawas sampai avansa atau pajero sesekali terlihat tiap pagi. Kadang terlihat 2x kadang juga sekali saja. Bukan hanya dari sopir angkot, mungkin dari pegawai bank, dosen, atau anak-anak kecil di mobil jemputan.

Air yang menyapa sambil menggebyur seolah terbahak-bahak dalam parasnya yang coklat campur lumpur atau kadang hitam tiap hujan datang, membuat saya tidak semena-mena lagi mengkonsumsi air kemasan dan stereofom. Lubang-lubang jalan seperti habis dihujani meteor, bertahan hingga durasi tahunan. Hari ini jumpa, esok jumpa, tahun depan pun kadang masih jumpa juga. Yang mengasyikkan adalah tengah kota tetap cantik, secantik pohon-pohonnya yang menebar oksigen tanpa syarat. Anak muda yang santu dan sopan, memberi salam hormat yang membuat saya haru, mencium tangan dan membentuk suka cita di pikiran saya. Membuat saya belajar, bagaimana hidup senantiasa harus dinikmati, disyukuri dan tersenyum. 

Bandung yang cantik, ramah, hanya kadang sadisnya membuat beberapa teman saya trauma untuk datang kembali kemari. Bagi saya, kota ini adalah gairah. Pemuda-pemudi baru yang saya temui, membuat saya merasa memiliki hidup dan tentunya harapan, meski masih sedikit. Harapan yang mungkin terlalu muluk-muluk. Harapan untuk mengajak mereka mengobrol tentang buku-buku di perpustakaan yang saya singgahi saat ini. Berbincang tentang pertunjukan sehabis kita tonton. Kegiatan-kegiatan itu yang saya rindukan, sama ketika saya tergabung dalam sebuah Lab Music bernama BnG. Kami berdiskusi setiap hari mulai dari sound gamelan gratis dari DAW Sonar, sampai film transformer yang saya agak tidak paham atau menduga-duga apa sebenarnya Cupu Manik Astagina dalam cerita Ayu Utami . Kumpul di warong kopi dan mengobrolkan ateisme, Ainun Najib, sampai Blues Merbabu atau folklore Hongaria. Baru berhenti kala pagi, kala ayam terbagun, atau speaker masjid mulai "kresek..kresek.. tes...tes..", sebelum Adzan berkumandang.

Namun, begitulah hidup. Kita mungkin akan hanya senantiasa didekatkan dengan orang-orang yang sering berdebat dengan kita. Berseteru tentang apa beda Sastra Pop dan Populer? Berdebat tentang tradisi dan modernitas. Berbantahan tentang tanggal berapa hari ini. Begitulah sedikit banyak kreativitas terasah, ide-ide mulai muncul, menjadikan siapa kita. Bisa apa kita. Seberapa kita. Dan...apakah kita berguna di hidup ini, atau malah menambah luka orang-orang? Terkadang kita merasa ingin menjadi vegetarian, hidup sederhana, memakan hasil tangan kita sendiri. Sebentar kemudian, kita ingin seperti orang-orang yang nampak cerah dalam balutan berbagai merek dagang kelas atas. Namun, secepat kilat kita takut banjir bandang, atau gempa yang teramalkan, sementara kota ini konon belum punya Badan Penanggulangan Bencana yang sangat baik. so....

Kamis, 21 Desember 2017

Siapa manusia dan kehidupannya?

Manusia, berikatan satu sama lain, berkomunikasi dengan ciptaan-ciptaannya sendiri. Sesekali ia dibawa maju, ditarik oleh ciptaannya sendiri, hingga menjauhi dirinya. Sesekali ia dipaksa mundur secara liminal, menuju kenangan kenangannya, meski tak seberapa lama.

Ciptaan manusia yang nyata, halusinasi dan drama-drama yang ingin ia mainkan makin menjauhkan manusia dari dirinya. Manusia menjauh dari pengetahuannya akan dirinya sendiri, mendekati definisi-definisi yang dipajang di etalase keinginan manusia modern. Apa yang tersisa dari dirinya untuk dirinya sendiri? Apa yang disisakan untuk orang lain? Apa yang bangunnya, runtuhkah? Apa yang hakiki? pertanyaan pertanyaan itu selalu bergelantungan, menunggu diambil pemiliknya seperti buah mangga yang matang di pohon, namun dibiarkan hingga jatuh dan membusuk.

Kita terlalu takut diusik oleh pertanyaan dan kegiatan mencari jawaban. Kita melaju dan terus melaju menuju antariksa, menuju relung relung bumi, dan makin tak menjawab pertanyaan. Hanya memenuhi ambisi-ambisi, mengukir prestasi membuat peradaban. Peradaban manusia pun tak pernah abadi, terus-terusan berubah, menjauhi keasliannya.

Sesekali, beberapa manusia merindukan wujud-wujud lamanya, ketradisiannya, kenaturalannya, kealamiahannya. Lalu sekehendaknya dia menjadi turis di bangsa yang dianggap lebih asli. Kehilangan kekuatan untuk memahami apa yang membuat diri bahagia adalah ketidakbahagiaan yang utuh.

Apa yang hakiki? saya melihat banyak hal hidup tapi bukan kehidupan. Apa yang sedang dihidupi dan dihidukan manusia? Hanya dirinya sendiri? Manusia menjawab ambisi-ambisinya dengan istilah peradaban yang mengkiblatkan diri pada dirinya sendiri, seolah lupa bahwa tanpa yang lain kita bukanlah manusia.

Bagi manusia yang tak sempat melihat siklus peradaban, tentu merasa bahwa doktrin-doktrin yang telah hadir padanya lah yang terbenar. Namun bagi yang menyimak siklus peradaban, akan mengatakan tak ada yang abadi dan hidup perlu dijalani dengan bahagia.

Bahagia pun terlalu dinamis definisinya. Hari ini kebebasan, besok uang, besoknya lagi pengetahuan, dan besoknya lagi traveling, minggu depannya lagi berubah dan terus. Kebahagiaan muncul bersamaan dengan harga-harga mahal, dan merek merek dagang terkenal. Kebahagiaan turut diperdagangkan, selerapun turut dipermainkan. Apa kau masih bisa berdiri untuk sekedar melihat kehidupan?

Semua mahluk adalah hidup, namun suara untuk menghidupkan kehidupan seperti nada disonan yang mengganggu, padahal mereka memang wujud.

Pernahkah bertanya pada dirimu, wahai manusia-manusia berpendidikan tinggi, duduk di kursi yang ditinggikan, kursi yang disucikan dan dilindungi oleh segala aturan tertulis serta dilindung manusia-manusia tertentu yang berkepentingan.

Setarakah kertas-kertas pendidikanmu, tinggi kursimu, baju sucimu, dan jabatanmu dengan pengetahuanmu? Setarakah dengan hidupmu untuk kehidupan?

Paling nikmat memang nyaman diantara meja kursi dan whiteboard, paling aman berada dibalik tirai-tirai pakem tanpa pikir lagi, paling enak tak mau mengurangi kenyamanan untuk sedikit saja berbagi rasa aman bagi mahluk-mahluk lain. Sebagian lainnya lagi, adalah mereka-mereka yang terus menutupi tanggungjawab dengan ide-ide dan prestasi.

Minggu, 23 Juli 2017

Semoga kewarasan meledak bersamaan dengan kesadaran yang sedikit dipaksakan.


Semoga kewarasan meledak bersamaan dengan kesadaran yang sedikit dipaksakan.

Kau selalu mampu menjawab saat ditanya berapa luas atau keliling lingkaran, namun tidak pernah paham saat diatanya apakah lingkaran itu? Dan mengapa dia harus ada. Bahkan kau sendiri tidak pernah menanyakannya. Hidup bagimu hanya bergerak dalam lingkaran yang tak pernah kau ketahui sendiri.

Jawaban yang subjektif namun multitafsir atas pertanyaanmu selalu menjadi media persembunyian. Ada hasrat dan dendam yang masih butuh yang kau sembunyikan untuk melonggarkan gerakmu.

Ada yang harus kau ketahui beda dari kemerdekaan dan kebebasan.

Tidak ada persembunyian dalam kemerdekaan, namun ada ruang-ruang pribadi yang dihargai disana. Dan kebebasan direbut untuk dibenturkan lagi pada himpitan-himpitan baru, resiko-resiko baru. Berulang begitulah kebebasan yang selalu diagung-agungkan untuk direbut.
-------
Hujan selalu meluruhkan sebagian tanah-tanah di pot-pot bunga dan menjadikan bunga-bunga kehabisan nutrisi lalu perlahan enggan tumbuh dan mengembang lagi.

Menjagai kehidupan adalah tujuan setiap mahluk yang bernyawa, namun menjagai rasa selelah menjaga bergeraknya dedaunan karena angin kencang.

Kebebasan seringkali tanpa perlu santun meminta tempat dimana saja dimaui, mirip angin kencang yang minta lewat memporakporandakan segala.

Mana lebih kau banggai? Menjadi jiwa yang merdeka? ataukah memohon dan mengaisngais kebebasan dan kembali memohon untuk mmenebusnya saat kebebasanmu telah meluruhkan sebagian cintaku menjadi geram.

Jika masih manusia tentu ada pasrah yang terus terselip dalam setiap tarikan nafas, dialah pasrah, yang menjaga kita tetap waras meski logika tidak mampu lagi mencari formula-formula.

Tidak ada yang lebih kujaga dari kewarasan...bukan sekedar rasa atau logika. Terbangkanlah jiwamu sendiri melalui kebebasanmu hingga kau paham arti “merdeka”..

Dy

Minggu, 16 Juli 2017

Cinta,Nasib dan Pasungan

Cinta,Nasib dan Pasungan

Saat datangmu, adalah saat dukaku yang mulai meluruh dalam penerimaan, saat tubuhmu dipenuhi pasungan dan luka-luka. Saat demi saat nasib bergiliran turun dan jatuh menimpa manusia termasuk kita. Ada yang membuat kita menangkapnya penuh bahagia, ada yang membuat kita menghindar dan berlari tak tentu arah, ada yang membuat kita terseok jatuh setelah ditimpanya. Ada juga yang membuat kita terjatuh dan kemudian bersyukur, ada yang membuat kita bahagia namun sulit kemudian. Setiap benda yang datang selalu bermassa, berdaya, dan butuh waktu. Dalam sebuah benda membawa konteksnya/unsur-unsurnya masing-masing. Begitu juga luka dan pasunganmu, begitu juga duka ku yang luruh. Setiap hal membawa syarat dan akibat.

Nasib bergelantungan diantara langit dan kepala kita, entah kapan akan turun tiba-tiba dibawa angin, disambar petir atau diluruhkan hujan. Sayangnya memori manusia setipis kertas yang bisa bubuk habis dimakan masa, dilumat air seperti bubur-bubur kertas kemudian menjadi kertas baru lagi, dibawa kabur udara yang bercampur debu-debu. Kita lupa bagaimana kita bermula di muka bumi, bagaimana kita bermula dapat berjalan dan berlari atau bersepeda, lupa bagaimana bermula dapat makan, menggunakan baju dan bahkan mengoperasikan benda-benda sekitar kita. Akhirnya pun kita lupa bagaimana kesakitan bersarang menjadi karakter, bagaimana keceriaan mengerak menjadi pola pikir dan bagaimana pula kesan-kesan kehidupan membentuk sifat dan sikap kita.
Nasib adalah satu latar dari nilai kedirian kita hari ini. Nasib bersyarat karena setiap langkah adalah komitmen dan kesediaan. Dalam nasib, janji seperti tak perlu dilegalisasi karena kita mengerti bahwa tanpa menepatinya maka nasib pun berubah. Nasib selalu dapat dipilih meski kadang pilihannya semua menyulitkan dan buruk, namun nasib seringkali baik dan membahagiakan meski konsekuensi selalu hadir sebagai konteks nasib.

Terpasung, terteror, serasa terperangkap dan terjebak. Pasungan nyata akan menggerakkan sebebas-bebasnya pikiran dan tekad. Pasungan abstrak akan menggerakkan tubuh untuk tak kenal takut atau malah makin tak berdaya. Kita sepertinya selalu merasa lebih pandai dari pada logika, lebih peka dari pada perasaan. Ego yang  menggerakkan kita pada keinginan yang kadang tak kita inginkan. Keinginan yang muncul karena keinginan sekitar, keinginan teror. Keinginan dan kita memang tak selalu bersahabat. Pasungan bukan cara untuk menguasai sesuatu, pasungan adalah cara untuk menakutnakuti saja. Pasungan dan teror adalah jenis yang sama.

Untuk yang tercinta… menggeloralah untuk mimpimu sendiri. Pasungan apapun tidak akan mampu menjeratmu. Cinta bukan sejenis pasungan dan teror, hanya saja cinta tidak selalu seperti inginmu; datar seperti jalan di tol tengah kota, tak ada ombak tapi tidak menghanyutkan seperti air pada akuarium, tak ada badai seperti angin dari kipas angin. Cinta adalah natural, dia akan menciprat mukamu saat kau pukul permukaannya dengan tenaga, dia akan memberi kesegaran pagi saat kau kegerahan semalaman, dia akan membuatmu gelagapan dan hampir tak tertolong seperti saat kau berenang di air deras sementara kau tau kau tak mampu berenang. Cinta juga bersyarat dan berakibat, layaknya nasib yang menggelantung di angkasa. Jika cintamu tak beralasan, itu hanya tentang dirimu yang belum mampu memahami tentang alasannya. Jika cintamu tidak berdampak apapun pada hidupmu, mungkin karena belum ada perenungan untuk menyadari. Setiap hal yang kita pilih pastilah sama beralasan dan berakibat.

Seperti tahunan lalu, aku masih mengatakan padamu hal yang sama memasung adalah menyiksa, menakutnakuti dan hanya melambatkan letupan-letupan yang kemudian menjadi ledakan besar. Teror hanya kata yang dipenuhi bualan, kebohongan, simbol ketakutan seorang yang tidak mampu memperlakukan baik dan berkomitmen. Jika kau merasa fisikmu terpasung terbangkanlah pikiran-pikiranmu, wawasanmu menembus dinding rumah dan batas-batas negara. Jika jiwamu yang terpasung, liarlah mencari dimana bunga tumbuh diantara batu-batuan.
Jika aku telah memasungmu, terbanglah… membumbung tinggilah… tembuslah setiap lapisan apapun yang ingin kau lewati, selagi usiamu belum tua, rambutmu masih lebat dan hitam, tulang-tulangmu masih mampu melompati tebing-tebing. Jangan pernah menunggu dijemput senja dalam siksaan, dalam pasungan.

Aku ingin senantiasa menjadi cinta bukan teror atau pasungan yang menjerat. Aku ingin jadi bara dalam geliat apimu yang menyala dan menjadi gas yang memadamkannya saat nyalanya ditakuti orang-orang. Mungkin cinta bukanlah baju hangat yang melindungimu dari salju negara empat musim, namun cinta selalu bersamamu memberi pelukan dan diskusi-diskusi hangat tentang Heiddeger dan Hannah yang pikirannya kau pakai bercermin setiap harinya.

Nasib cinta bukan diciptakan sebagai sesuatu yang tak bergejolak, cinta bukan hari-hari panjang yang tenang tanpa keributan, cinta juga sebagaimana mahluk tuhan lainnya. Dia juga bergejolak, riang, marah, dan sendu…tapi kau berhak terbang tinggi tanpa pasungan jika cinta telah berubah wujud dan memasungmu…




Selasa, 11 Juli 2017

YOUTUBE: ANTARA KEBARUAN TEKNOLOGI DAN MENIRU, (WAJAH BARU BUDAYA ORAL/LISAN)

YOUTUBE: ANTARA KEBARUAN TEKNOLOGI  DAN MENIRU
                                     (WAJAH BARU BUDAYA ORAL/LISAN)                    



Youtube tentu bukan suatu hal yang asing, serupa media sosial bagi pengguna andorid.  Beragamnya content dalam youtube adalah perwujudan dari kompleksitas kebutuhan manusia akan audio visual. Mulai dari kebutuhan perut, pengetahuan, emosi, sampai pada persoalan biologis dan kebutuhan private manusia pun siap disantap. Cara memasak, belajar bermain biola, cara mengerjakan soal matematika, sampai cara menyetrika cepat, pijat refleksi sampai pijat plusplus. Rasanya sangat sulit bagi manusia diera modern untuk bersembunyi dari perkembangan teknologi. Rasanya apapun topeng yang ingin kita gunakan, youtube telah menyediakan wajahnya. 

Teknologi mendorong sekaligus menarik kita pada penemuan-penemuan yang semakin lama semakin terasa janggal jika tidak turut  menggunakannya. Teknologi berada dibelakang dan mendorong kita maju ke depan, sekaligus berada jauh di depan dan menarik kita untuk berlari cepat-cepat mengejar zaman. Teknologi berperan dalam menyuplai pengetahuan, pemikiran, dan tak jarang mempengaruhi perasaan termasuk sebagai media menyampaikan rasa yang pribadi. Hal yang terdengar dan terlihat sangat mempengaruhi pembentukan pemikiran kita. Telinga dan mata adalah dua dari indra manusia yang cukup berperan untuk menangkap kesan dan menerima pesan.

Mata seringkali melihat hal yang mungkin tidak ingin kita lihat, artinya mungkin terlihat atau hanya sepintas lalu lewat. Sama halnya yang terjadi pada telinga. Bunyi melintas pada telinga, kita yang memilih mana yang kita dengarkan dan mana yang harus diabaikan. Hampir dalam setiap pembelajaran baik yang bersangkutan dengan etika maupun pengetahuan, mata dan telinga merupakan senjata yang utama. Terlebih bagi kita yang tinggal di nusantara ini. Meski ada yang bersifat tertulis namun dalam keseharian, kita lebih banyak menggunakan mata dan telinga untuk menangkap tatacara, pelajaran, sikap, dan menganggap mana hal yang terlarang dan diijinkan.

Bukan tanpa akar mengapa kita lebih suka belajar melalui audio visual. Budaya mendengar dan melihat tanpa tulisan di Nusantara telah biasa dilakukan sejak ratusan atau ribuan tahun lalu, bahkan hampir semua tradisi yang kita warisi disampaikan secara tidak tertulis.

Tanpa Tulisan
Tanpa tulisan biasa dikenal dengan istilah budaya oral/lisan, yaitu menyampaikan pesan tanpa aksara. Mulut memiliki peran yang penting, bahkan kita memiliki budaya tutur yang cukup tinggi melalui dongeng, mitologi, dan larangan-larang yang langsung dipatuhi secara dogmatis.

Dalam budaya Jawa kita mengenal dengan istilah “Gethok Tular”, jika dicari padanannya mungkin mirip dengan “dor to dor” atau dari pintu ke pintu. “Gethok Tular” adalah upaya penyampaian berita melalui mulut ke mulut, dimana seseorang dengan sukarela menyampaikan suatu hal pada orang lain. Begitulah sistem budaya oral bertahan pada lintas generasi.

Budaya oral artinya mengandalkan ingatan, menaruh kuat-kuat hal-hal yang tidak tertulis pada memori, tentang apa yang kita pelajari. Arti yang lain adalah kesementaraan (dinilai sebagai kesementaraan karena dalam ucapan cukup mudah diingkari, atau dilupakan bahkan hilang begitu saja sebelum sempat disampaikan pada yang lain karena keterbatasan manusia). ‘Tanpa tulisan’ atau oral bukan selalu hanya terhubung pada kata-kata yang diucapkan (rasa yang dikecap lidah, disentuh kulit, aroma yang ditangkap hidung dll), namun juga termasuk suara/nada, tehnik/metode yang disampaikan dengan praktik tanpa tulisan. Budaya oral merupakan upaya penjagaan tradisi, bahasa, karya dan budaya secara turun temurun, meski beberapa hal kita tidak dapat mengkonfirmasi kebenarannya. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya pengetahuan yang terus terjaga hingga berabad-abad meski tanpa diaksarakan. Hampir semua ilmu memasak kita warisi tanpa tulisan, ilmu arsitektur tradisional, pertanian tradisional, dan lagu-lagu tradisi nusantara.

Budaya non tulis bukan berarti budaya rendah. Non tulis adalah upaya mencapai kebijaksanaan bagi budaya tertentu. Non tulis dan tulis sama-sama cara sebuah kebudayaan berjalan dari generasi ke generasi. Tulisan dapat membawa kita pada imajinasi tentang ribuan tahun lalu, memainkan musik-musik klasik dan romantik abad 17, 18, 19, memahami pemikiran melalui dokumentasi sastra dan lukisan-lukisan dizaman Mideaval atau Renaisance. Tulisan sering dikatakan sebagai keabadian, keterbukaan. Hal-hal yang sudah ditulis artinya sudah harus siap untuk direspon siapa saja, sangat terbuka. Saat kita mulai menoreh tulisan, artinya sekaligus kita siap mempertanggungjawabkan.

Tulis maupun non tulis, keduanya perlahan sudah memberi busana baru pada teknologi. Wajah teknologi lebih cantik sebagai media penyampai pesan yang akrab dengan keduanya (tulis-non tulis). Menulis adalah memelihara pemikiran. Dengan menulis maka hal-hal yang sudah kita lakukan, kita produksi, dan kita alami di masa lalu dapat dibaca dan menjadi pelajaran generasi selanjutnya. Mereka adalah jembatan antar zaman, kendaraan untuk melintasi zaman ke zaman.  Non tulis sama halnya menjaga diri dalam menyampaikan pemikiran. Dalam budaya oral, martabat manusia dijaga, tergantung pada lidahnya (ajining diri gumantung ing lati_salah satu falsafah Jawa tentang keharusan menjaga lisan, karena harga diri bermula dari lisan).

Teknologi selalu pandai memanfaatkan kebiasaan kita, memfasilitasinya. Budaya oral pun mencoba untuk diwadahinya. Dalam teknologi, budaya tulis dan non tulis seakan diringkas sehingga kita merasa mudah untuk menerimanya. Kalimat yang ditampilkan, baik dalam tulisan maupun oral di media sosial seakan-akan adalah citra kita. Orang memahaminya sebagai identitas diri kita, tanpa harus tahu kita siapa, latar belakang kita apa, mendapatkan ilmu dari mana. Saling meniru adalah sah asal tak diketahui, meski jika terungkap maka bully an luar biasa yang akan didapatkan.

Youtube, produk budaya dan budaya lisan, adalah keterkaitan yang sangat erat. Youtube merupakan pilihan mudah, murah sebagai perpanjangan presentasi karya yang kita bikin. Pembelajaran melalui youtube pada bidang-bidang yang terbiasa disampaikan secara oral lebih dapat diterima. Bahkan beberapa kebiasaan berubah pada pembelajaran yang seharusnya kita pelajari secara tertulis, dapat diringkas melalui audio visual.

Kesuksesan yang kita tuai karena mempercayai youtube sebagai media promosi tentu akan berdampak pada popularitas. Tidak jarang saya mengamati tentang berapa lama nama kita bertahan untuk dikenal orang. Apakah hanya sebatas di layar saja, atau memang benar begitu dalam dunia nyata. Akun-akun rahasia seringkali menjadi guru, bintang dan panutan. Youtube menjadi salah satu media belajar. Belajar apa saja. Pendekatannya dengan mendengarkan ceramah serasa langsung di hadapan kita. Kita dapat dengan cepat menyerap tutorial-tutorial karena menyimak dengan mata dan telinga. Meski tidak kita pungkiri manfaatnya luar biasa. (Para pendidik juga memiliki kecenderungan mempelajari banyak hal yang akan disampaikan pada siswa melalui youtube, akses yang sama juga bagi para siswa)

Youtube bersifat searah, kita boleh menyimak mengikuti dan atau membuangnya (tidak mengikutinya).  Teknologi sudah hampir menguasai semuanya. Murid-murid tak perlu datang ke sekolah, pemain musik tak perlu kursus apalagi sekolah musik, ibu- ibu tak perlu menanyai ibunya tentang resep-resep masakan. Saya pun sepakat dengan manfaatnya dan efisiennya, namun ada yang tertinggal yaitu makna. Reinterpretasi lagu sulit dicari, karena yang ada adalah peniruan nada yang sama persis namun entah bagaimana dengan kesan yang ingin dibangun. Murid yang tak perlu datang ke sekolah akan bisa mengerjakan soal-soal yang sama namun bagaimana dengan cara mereka mengenali soal-soal yang aplikatif pada lingkungannya. Resep-resep masakan dapat kita ikuti namun rasa masakan ibu yang kita cari, bagaimana?

Mewakilkan mungkin tidak sulit, tapi tidak hadir tetaplah ketiadaan. Sebagaimana rasa yang ekspresinya mudah disampaikan lewat berbagai media tak nyata, namun ketidakhadiran adalah ketiadaan (meski manusia sebagai mahluk yang adaptatif mampu memaksakan rasa mengikuti hal-hal yang dirasa populer atau banyak digemari yang lain). Ada bagian tubuh manusia yang memproduksi rasa, bisa diekspresikan namun tidak selalu bisa ditransfer persis sama meski berumus tetap dan tepat.

Teknologi bukan musuh, dia adalah teman yang sesekali mengecewakan dan sekali waktu menenangkan. Sedikit maksud pribadi menyindir seorang teman, bahwa tidak ada hal yang pantas diagungkan setinggitingginya termasuk teknologi.
Selamat menjadi bijak, selamat mengelola teknologi agar kita tetap dapat menjadi manusia dengan citarasa manusia.

Sumber Bacaan:
1.      Metode Kajian Tradisi Oral (Kumpulan artikel dan jurnal), Yayasan Obor
2.      Virus Setan, Slamet Abdul Sjukur, Art Music Today
3.      Digital Culture , Oxford University Press
4.      Kerumunan Terakhir, Okky Madasari, Gramedia Pustaka


Senin, 10 Juli 2017

Menelusur Kembali Ucapan Terimakasih yang Tersisih

Menelusur Kembali Ucapan Terimakasih yang Tersisih

Berawal dari seporsi makanan yang kita santap bersama, lalu penyadaran atas kelezatannya. Jarang tersadari bahwa kemampuan mengecap, mengunyah dan menelan makanan dengan baik adalah bagian kesehatan tubuh yang dianugrahkan tidak pada setiap makhluk. Makanan dan unsur-unsurnya, bahannya, cara pembuatannya, kokinya juga bagian lain yang tidak terputus dari kenikmatan mengecap. Mensyukuri kemampuan kita membeli makanan dari pekerjaan yang diberikan pada kita karena ilmu, tenaga, waktu dan keahlian kita (mungkin dibagikan secara cumacuma, acak dan bermisi) adalah kesinambungan lain dari terimakasih kita pada makanan. Cinta adalah rasa lain yang mengalir saat kita menyantap makanan. Nikmatnya menyantap seporsi makanan sederhana bersama orang yang kita cintai (mungkin suami, anak, ibu, adik, sahabat dll). Terimakasih masih banyak cabang dan rantingnya meski tentu pasti berakar.

Berterimakasih tentu lebih baik jika menyeluruh, namun rasanya begitu sulit jika harus mengeja satu per satu kenikmatan meski ada muara yang tak mungkin kita ingkari yaitu Tuhan. Dialah akar dari semua tumbuhan kenikmatan. Dia menciptakan banyak hal sebelum kita, alam semesta dan manusia sebelum kita. Dia juga menciptakan yang bersamaan dengan kita. Dia juga menciptakan sesuatu yang akhirnya akan dipertemukan dengan kita, juga hal-hal yang suatu waktu akan berpisah pula dengan kita. Dia juga menciptakan sesuatu yang akan kita tinggalkan, meneruskan langkah kita. Muara memang selalu Dia, namun semesta dan isinya adalah hal tampak yang pantas kita hargai sebagai diri kita sendiri, sesama makhluk, sebuah karya dan mahakarya. Tuhan adalah kreatornya.

Semesta: Terbatas dan Tak Terbatas
Terimakasih selalu bertingkattingkat, bersambungsambung, seperti syaraf dalam tubuh kita yang manjadikan satu gerak utuh manusia yang berinteraksi dengan semestanya. Ada bumi yang lebih dulu lahir dan kemudian harus tetap ada meski sampai kita tiada. Terimakasih terhubung pada diri kita dan kedalamannya baik yang ragawi maupun rasa. Terimakasih tidak semestinya ditujukan pada hal-hal material saja namun juga yang tak tampak, spirit, rasa, tekad, niat dan yang Maha menggerakkannya. Tuhan menampakkan cintanya pada bentuk yang tak tersadari manusia. terimakasih juga tidak harus melulu vertikal menuju yang transenden namun juga yang horizontal terlihat.

Semesta adalah salah satu muara kecil dari sebuah kata terimakasih yang jarang tersadari. Diucapkanpun kadang terlupa, apalagi disampaikan dalam gerak tubuh manusia, dalam langkah dan perilakunya. Manusia terlihat sebagai mahluk yang takmau terganggu kenyamanannya sedikitpun, dan senantiasa ingin bersenang-senang dengan memuncak dengan sedikit lupa bahwa bahagia itulah pencapaian. Kadang bahagia datang setelah getir dan sendu.
Semesta adalah ruang sebagai wadah fisik, roh, maupun pemikiran. Semesta adalah ruang percintaan kita dengan sesama mahluk semesta, ruang pencapaian kebahagiaan dan selanjutnya kita tinggalkan. Semesta juga ruang bersemayamnya roh yang kasat mata melalui tubuh. Tubuh dan kerumitan sistemnya adalah semesta bagi roh, dimana rasa pemikiran dan jiwa juga ada di dalamnya. Semesta itu bertingkattingkat pula, semesta hati, semesta pemikiran, semesta tubuh (fisik), semesta alam, semesta jagad. Dalam pandangan Jawa, seorang harus menyadari “sangkan paraning dumadi”, yaituu tentang asal muasal dari mana datang dan kemana akan pergi. Semesta mewadahi kita dalam kebebasan namun sekaligus keterbatasan, ketakutan.
Terimakasih pada kebebasan hal-hal yang tak benda. Cara berpikir, cinta yang kita rasakan, kebencian yang dipendam adalah kebebasan mutlak dalam jagad semesta non fisik diri kita. Keterbtasan untuk mengungkapkan semuanya dengan lugas dan gamblang adalah bagian keberuntungan yang kita terima lainnya. Berterimakasihlah jika kita masih diberi kekuatan untuk mampu menjaga perasaan, kebahagiaan dan kehidupan baik orang lain meski ada kebebasan rasa yang kita pendam sendiri. Perumpamaan lain yang kongkrit tentang keterbatasan yang menguntungkan adalah keterbatasan keahlian kita. Jika saja kita mampu dalam segala hal, maka tidak ada fokus dan penemuan yang kita lakukan untuk orang-orang di sekitar kita. Keterbatasan pendengaran hingga frekuensi tertentu juga menjadi keuntungan dari gangguan ribuan mahluk yang beraktivitas dalam berbagai frekuensi. Keterbatasan meliha hal yang tak kasat juga menjadi keuntungan tersendiri, meski beberapa diantara kita memiliki kemampuan spesial namun tentu bagi yang memilikinya pun dapat menempatkannya sendiri.
Semesta mewadahi yang bebas, sebebasbebasnya berkeliaran pada ruang tanpa wujud. Semesta adalah wadah yang terbatas, karena setiap yang berujud mengalami kerusakan maka dalam kebebasan kita ada pembatas yang menjaga dari rusaknya sebagian semesta.

Mungkin cukup sekali saya pun menyadari betapa “terimakasih” tidak pantas diucapkan pada satu mahluk saja, namun mengucapkannya setiap saat juga rasanya sangat sulit dan syukur adalah salah satu cara mewakili keseluruhan ucapan terimakasih. Individu sering membuat muara terimakasih pada hal-hal yang memang sengaja dipilihnya sendiri, tanpa membiarkan logikanya menelusur. Terimakasihnya ditujukan pada hal yang dia maui, yang membahagiakannya sendiri. Pada satu wujud saja yang diingini. Terimakasih sering hanya diucapkan untuk tercapainya hal-hal yang paling diingini, jika tidak maka dianggaplah kesialan. Syukur memang tidak bisa dipaksakan, manusia memilih waku kapan dia bersyukur dan berterimakasih.

Mencoba menyadarkan diri melalui pengalaman-pengalaman lalu, tentang terimakasih yang tersisih, terimakasih yang menguap karena kekecewaan. Seringkali tidak disadari bahwa langkah sudah sedemikian jauh lengkap dengan kebahagiaan dan kekecewaan, namun secara keseluruhan ada kenikmatan yang terus bisa dirasa. Berterimakasih untuk kenikmatan yang kita punya memang harus menguras logika untuk menelusur dan menyadarinya. Disitulah rasa syukur sering bermula, logika. Karena setiap manusia sering merasa menderita, penderitaan yang disebabkan manusia lain, penderitaan yang disebabkan tidak terpenuhinya keinginan. Terkadang kita hanya merasa biasa saja (tidak sedih, tidak juga sial) namun kita merasa “menderita” hanya karena 1 saja keinginan yang tidak terpenuhi.  
Jika kembali pada menelusur kenikmatan, apakah sanggup jika 1 kenikmatan yang saat ini kita rasakan diambil oleh pemiliknya? Terlalu sok religius mungkin, namun setidaknya cukup kita sadari bahwa kehilangan 1 kenikmatan saja dari sekian kenikmatan yang sudah kita rasaka, tentu sangat berat.


Berterimakasih adalah kemampuan logika menelusur kenikmatan, berterimakasih pada siapa saja yang mahluk dan yang khalik. Yang hidup dan yang mati. Yang tampak dan yang tidak.