23 Pebruari 2010, Selasa malam kita berangkat. Saya lupa entah dengan Gaya Baru Malam, atau Bengawan. Antara berangkat dan tidak berangkat malam itu, tapi akhirnya saya putuskan untuk berangkat. Rabu pagi pukul 6 sudah harus sampai di rumah Lengger Astuti, Pertunjukan Lengger tanpa alat musik modern apapun, akan digelar di pedesaan Banyumas, tepatnya desa Kali Bagor. Saya bersama Mbak Dona berangkat dengan kereta yang penuh, tapi untung kami dapat tempat duduk. Perjalanan mendadak, yang kami syukuri. Rasa kantuk waktu itu cukup kuat, tidak mampu lagi membaca yang terjadi. Selepas Kutoarjo, 2 orang remaja pria berambut gimbal datang mengajak berkenalan dan bergurau. Mereka duduk untuk makan pecel. Mereka berbicara tentang komunitas seni mereka yang di Jogjakarta. Kelompok teater tempat mereka belajar di daerah Malioboro. Menunjukkan beberapa lembar kertas pada kami, isinya tentang skenario berteater mereka, synopsis pertunjukan teater mereka. Selesai makan segera mereka berlalu setelah kita asyik sekali mengobrol tentang apa itu Dewi Sri.
I’m yours, Jason Mrass. Lagu itu merdu sekali diatas kereta. Live music dari mereka kawan-kawan baru kami tadi. Luar biasa, saya mendengar pengamen dengan suara sebegitu bagusnya, petikan gitar sebegitu nyamannya di telinga. Diantara lagu I’m Yours salah satu dari mereka menyisipkan syair-syair ketidakterimaan atas hidup dan pemerintah. Seperti ingin meminta perhatian diantara kenikmatan lagu, seperti mengharap keterkejutan penumpang yang ada. Merendah suara mereka, semakin mendekat dan mendekat. Kami adalah penumpang yang tidak diharapkan menggelindingkan recehan di kaleng mereka. Lalu sesaat kemudian, kami menukarkan uang receh dari mereka, berharap tidak kebingungan jika ada kawan-kawan baru kami yang lain.
Tidak ada apa-apa lagi, kami tertidur. Sekarang saya ingat bagaimana para pedagang asongan membicarakan tentang alangkah malunya jika mereka sampai menjadi pengamen. Alasannya karena seperti pengemis, tanpa ada yang ditawarkan dan lalu meminta uang recehan. Jujur mendengarnya cukup menjadi pikiran bagi kami. Saya, ataupun mbak Dona sama, saya seorang pemain gitar yang biasa meminta uang receh secara tidak langsung. Dengan proposal, dengan audisi, bermain untuk melengkapi kenikmatan makan para pengunjung resto. Begitu setiap kita memandang sesuatu dari sudut lain memang akan berbeda, atau inilah kenyataan masyarakat kita yang tidak sempat lapar hiburan, tidak sempat lapar rasa nyaman, mereka terlalu kerepotan sudah dengan lapar perut. Sehingga tidak mampu memikirkan apa-apa lagi.
Membahas tentang sudut pandang, semua memang nampak aneh dan salah saat kita memandang sepihak, termasuk soal pengamen. “Thowaf” , mengitari ka’bah dalam agama Islam di Mekkah, sedikit banyak mengajarkan tentang menyetarakan sudut pandang, koreksi diri, mengakui orang lain. Sepertinya konsep Thowaf ini pun terkadang tidak dipahami begitu bagi para pelakunya.
Jam setengah 2 sampai di Purwokerto, sholat, tidur dan makan tepat jam 6 kami naik taksi Rp.15.000 sampai rumah Lengger Astuti, kami memanggilnya “mamah”. Segera bersiap, mandi, makan lagi, peralatan tempur dan berangkat. Rp.50.000 sewa motor untuk 1 hari penuh, kami naik lewat jalan tanpa aspal, hanya batu dan tanah merah, naik terjal terus terus dan terus. Mamah bersama suaminya dan saya bersama Mbak Dona. Sampai di tempat. Kita mulai ngobrol dengan empunya kerja dan lengger Astuti dan suaminya. Si empunya kerja mengadakan lenggeran karena telah dapat bercerai dengan suaminya yang sudah tidak memberi nafkah lahir dan batin. Lenggeran sering digelar karena “nadzar”. Nadzar diucapkan dengan harapan untuk mensugesti diri agar keinginan mudah terlaksana.
Berapa saat sebelum Lenggeran mulai, kami merasa ada percekcokan pengendhang dan Mamah, oh, ternyata benar, ini soal kami yang datang tanpa ijin dan membuat pengendhang kehilangan harga diri. Kamera dan handycam kami dikira untuk mencuri perform mereka dan menjualnya. Polisi datang, acara berhenti 2 jam, kami diminta pergi oleh mamah, sedang beliau menghadapi sendiri polisi dan pengendhang sekalipun dengan air mata. Masalah selesai akhirnya, dan kami datang lagi sore untuk menjemput mamah. Kami meminta maaf dan entah diterima atau tidak dia bilang “iya”. Mamah berkali kali meminta maaf pada kami dan memeluk saya dengan air mata. Kata mamah, ini bukan soal harga diri tapi uang, sudahlah yang penting semua telah selesai.
Pulang kami malam harinya, dengan kereta dari Jakarta, ekonomi, penuh, berjejalan, tidur sambil berdiri lagi sampai hampir kutoarjo. Dilewati bakul-bakul. Menunggu waktu sampai kami tiba di Jogjakarta kembali.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar