Pukul 09.00, 22 Pebruari 2010. Waktu sedikit memaksa kita pulang, kami bersiap kembali ke Jogjakarta. Terlalu pagi jika mengharap kereta Pasundan yang mungkin datang selepas Dzuhur. Apapun kereta yang segera datang, kami akan turut. Perjalanan yang cukup lama dari Banyumas menuju Kroya ternyata tetap membuat kita sampai terlalu awal di sini. Makan pecel stasiun, pakai 2 lidi tebal seperti sumpit sebagai pengisi waktu dan perut.
Pagi yang masih tepat untuk ambil gambar, Mbak Dona pasti tidak akan melewatkan. Jauh di sudut stasiun, lintasan rel tempat penuh batu-batu kecil. Dia mengambil tekstur-tekstur batu, serangga kecil, kereta dan tentunya saya. Beberapa menit kemudian ada suara memanggil dalam logat sunda sedikit jauh dari tempat Mbak Dona mengambil gambar. Handycamku mulai berganti arah menuju bawah gerbong kereta yang ternyata penuh dengan alas kardus sisa tidur semalam. Di dalam gerbong, diantara rel bawah gerbong kereta memang ada hidup yang turut tinggal disana, tapi saya belum pernah tahu hidup yang seperti apa. Hidup yang seperti tergilas roda-roda besi mungkin.
Para pedagang asongan mengatakan, gerbong sudah terisi banci. Ada seorang ibu dan suaminya yang bertempat tinggal di bawah gerbong, diatas batu-batu kecil bertekstur keras, diantara roda-roda besi. Kebetulan saat itu mereka sudah bangun lalu kami ngobrol. Pasangan suami istri itu pindah dari satu stasiun ke stasiun lain, mereka berharap bisa pulang ke Madiun tempat suaminya berasal. Sebelumnya mereka tinggal di Kuningan, bekerja di perkebunan lalu bermasalah dengan pemilik rumah, akhirnya mereka pergi dengan membawa anak bayi mereka. Bayi mereka yang berumur beberapa bulan akhirnya meninggal karena dingin malam Jawa Barat. Ada kebenaran atau tidakkah, saya hanya ingin mempercayai.
Ibu itu berumur kurang lebih 60 tahun dan suaminya, nampak lebih tua. Seseorang datang lagi, dengan wajah dan logat yang saya tidak terlalu mengerti dari mana, namun mungkin Batak. Dia meminta poto, KK, dari pasangan suami istri tersebut, sepertinya memperjuangkan mereka untuk memiliki KTP. Dia turut bercerita, tentang Jogjakarta, tentang LSM-LSM, tentang organisasi-organisasi. Dia menyebutkan dari nama Griya Lentera di Jogja , Yayasan Gesang di Solo, Sarkem, Event miss waria di Purwokerto, gempa di Jogja dan bagaimana dia ambil bagian, sampai nama Obaja di Solo. Entah, saya tidak merasa perlu untuk terlalu pusing dengan yang dibicarakannya itu dan saya lebih tertarik pada saat dia membicarakan tentang Srandul di malam jumat. “Srandul”, mungkin tempat yang saya ingin datang kemudian.Selang tak berapa lama orang itu berbicara, Ibu tadi mulai bicara lagi memaparkan satu demi satu permintaannya, tentang ketidakmampuannya makan sejak 2 hari lalu, ketidakpunyaanya atas pakaian, dan kebutuhan akan uang. Menggunakan nada sedikit memaksa, meminta keibaan saya diwujudkan dalam bentuk rupiah.
Lepas dari hadapanya kembali saya ke tempat tunggu kereta. Bersama asongan dari berbagai daerah, saya mulai bertanya-tanya sambil membeli sale pisang. Masih tentang Ibu tua tadi, mereka justru menunjukkan garis muka cibiran. Saya tidak terlalu banyak ingin tahu. Salah satu cibirannya dari seorang Bapak yang mengangkut barang-barang bawaan penumpang. Tapi saya lebih tertarik dia bercerita bahwa dia lahir di Jogja, tinggal di bawah jembatan layang dengan berjualan sejak kecil. Berat hidup di Jogja katanya, sampai saat dia terusir oleh peraturan setempat dan memutuskan pergi mencari tanah murah di cilacap dekat rel kereta. Saat itu dia memulai menyapa stasiun setiap saat.
Bapak tadi memberi semangat pada saya. Dia bilang perempuan tidak boleh takut dengan apapun, perempuan di Indonesia harus segera bisa seperti perempuan di Luar negeri. Saya jawab dengan kata “Amien”. Dia seperti membaca keresahan saya yang ingin tahu kapan kereta saya akan sampai di Kroya dan membawa saya ke Jogja. Akhirnya dia meminta seorang pedagang untuk bersama kami naik kreta bisnis selanjutnya. Saya hanya bisa bersyukur dengan kebaikan konkrit itu, dan balasan konkrit saya adalah membeli satu botol minuman dagangan kawanya.
Rp. 10.000,- bayar diatas, sambil menikmati Mbak Do mengambil gambar dalam kereta dan mengurutkan pegunungan Kendhil dari kroya sampai Jogjakarta. Pegunungan ini yang membagi wilayah Banyumas yang konon juga menyebabkan musik gaya Banyumasan menjadi beberapa varian. Kurang lebih pukul 15.00, adik saya menjemput di Stasiun Tugu.
Foto pada Logawa, Lempuyangan_Jogjakarta sampai menuju Kroya_Cilacap dan Kroya Cilacap, sampai stasiun Tugu Jogjakarta, oleh Dona Shintaningrum

Tidak ada komentar:
Posting Komentar