Setiap kali saya jengah dengan kenaikan BBM, bukan kenaikanya tp dampaknya. setiap kali saya jengah dengan kenaikan tarif listrik, lagi-lagi persoalan dampak. Kenapa harus dengan dampak yang selalu membuat saya khawatir. Masyarakat menjadi terganggu dengan upaya masyarakat sendiri yang membela kepentingan masyarakat dengan cara anarkis. Semua serasa diadu. siapa yang salah? pemerintah atau rakyat?
Tapi justru ketika sekolah mahal, tidak sebesar ini dampaknya. Apa masyarakat kita sudah sangat menempatkan pendidikan di peringkat bawah? apa mereka pesimis dengan ilmu pengetahuan yang akan membawa kemajuan? ilmu yang hanya membuang-buang uang untuk membelinya tapi tidak membawa derajat yg lebih baik bagi hidup mereka? Benarkah masyarakat kita yang selalu menuntut keinstanan di semua aspek kehidupan?
Beralihnya Cara berpikir Masyarakat
Bukankah dalam waktu yg lama, sejak dulu sebelum merdeka rakyat selalu loyal dan santun. Dmana keloyalan itu sekarang, dmana kesantunan itu sekarang? siapa yang membawa pergi. Pemerintah mencoba memberi sistem yang bijak, tp rakyat memanipulasi, tidak tertib. Jika pemerintah menertibkan, massa mengamuk. Seolah-olah terlihat rakyat yang salah. Seperti beberapa hari lalu saya melihat Amien Rais di Kick Andi, Amin Rais menyatakan bahwa rakyat lebih butuh pemimpin yang bisa memberi uang. Seolah-olah rakyat ini masih juga salah. Coba kita tarik ke belakang, ketika rakyat masih dalam keloyalan dan kesantunannya. Siapa yg mencuci otak mereka sampai keloyalan itu hilang, seolah-olah pemerintah adalah musuh besar yang harus diperangi. Kesantunan hilang, seolah-olah Polisi yg merupakan bagian masyarakat di ludahi, Mahasiswa yg merupakan bagian dr anak2 mereka sendiri di hajar, di semprot gas air mata, di hujani peluru karet. Bukan jeda yang lama antara generasi kakek saya yang sering menceritakan era sebelum 66 dengan generasi saya sekarang. Bahkan generasi ibu saya pun sudah jauh berbeda. Mulai dari cara masyarakat memperlakukan masyarakat lainya, cara masyarakat menghormati dan taat dengan aturan-aturan negara, sampai dengan pilihan-pilihan rakyat dalam mencukupi hidup. Hal apa yang merubahnya?
Baik, saya ambil dunia yang terdekat dengan saya. Pendidikan, Seni dan Gaya hidup. Ibu saya mengatakan, bahwa naik sepeda onthel (kayuh) jarak 10-20 km dulu biasa. Beberapa seniman mengatakan, mereka lebih ingin menjadi seniman kala itu dibanding dengan menjadi pegawai pemerintahan atau guru. Guru diwaktu itu senang mengabdikan diri karena mereka memiliki dedikasi tinggi tanpa mengenal jarak, berbagi ilmu bagi mereka seperti juga berdkwah, membagikan jalan kebenaran.
Sekarang, kemudahan banyak masuk. Negara-negara yang lebih dulu maju memberi banyak pengaruh kemajuan bagi Indonesia. Negara ini terus tampak maju, seolah olah terus menurus dapat mengikuti kemajuan dunia. Sampai dmana kita sekarang? kita hanya menggelinding tanpa arah, terus dan terus seperti mengalir di sungai buatan yang sudah tercetak, yang telah terdesain aliranya. Tdk ada yg bisa kita lakukan selain menjadi konsumen, sekalipun generasi kita mampu membuat pesawaat atau mobil sendiri, kita bisa lihat akan seberapa Indonesia mempercayainya, atau tindakan orang-orang atas yang kurang lebih hanya pidato. Indonesia negri para konsumen, negri yang tergantung, negri yang tertopang...sepertinya begitu.
Kredit Adalah Gaya Hidup, Pegawai Tetap Adalah SolusinyaIndonesia, apa yang tidak bisa di kredit? semua hal bisa dikredit. Mulai dari baju dalam penutup kemaluan, alat masak panci, kompor, kendaraan bermotor, perangkat hiburan dan alat komunikasi. Kredit semakin mudah, semua orang berlomba-lomba memiliki beragam kemudahan. kemudahan-kemudahan semu yang memanipulasi keadaan sbenarnya. kemudahan yang mengarahkan kita menjadi pemalas. kemalasan-kemalasan yang terfasilitasi.
Mudahnya kredit kendaraan bermotor menuntut kita menyetarakan diri dengan kemudahanya. Agar bisa rutin membayar kreditan tiap bulan, kita harus menjadi pegawai dengan gaji bulanan. Tetap, aman, bisa membeli apa saja dengan mengkredit. Kendaraan bermotor yang seharusnya bisa dimiliki oleh orang-yang mampu menjadi milik semua orang. Kita tidak perlu makan kenyang, kita tidak perlu sekolah, kita tidak perlu bekerja dengan keras tp tidak punya kendaraan bermotor itu tidak lumrah dilihat masyarakat. mengayuh sepeda itu pekerjaan berat. BBM untuk kendaraan pribadi ikut naik adalah sebuah kesulitan yang besar akhirnya.
Alat komunikasi yang disediakan dengan kredit, membuat kita mudah untuk lebih dari sekedar brkomunikasi. Janji tidak berlaku jika tidak mengulangnya dalam bentuk sms, atau bbm. Alasan untuk janji yang terlambat bisa kita sampaikan dengan santai via alat komunikasi. Lebih dari sekedar alat komunikasi, gadget adalah standard pertemanan. orang tua merasa tidak bisa mengontrol anaknya dengan baik tanpa gadget. Menjadi gaya hidup bagi generasi mudah, maksud saya generasi muda. Sehingga banyak sekali anak muda yang main beli lalu gadai dengan cepat, atau bahkan jual murah akhirnya. Ending yang sama, bekerja gajian adalah cara terbaik untuk hidup wajar.
Menjadi seniman, atau produsen suatu barang, bukan sebuah pilihan pekerjaan. Dahulu menjadi seniman gaji lebih besar dari pada pegawai, karena orang-orang penikmat hiburan, pencari pencerahan hati masih banyak. Sekarang, kebanyakan orang menjadi mangsa hiburan-hiburan digital. Pencerahan hati tidak diperlukan lagi karena semakin pentingnya waktu untuk bekerja rutin setiap hari. setiap hari yang sangat melelahkan, yang dibutuhkan hanya tidur. Menumpuk uang sebanyak-banyaknya untuk mengimbangi gaya hidup sekeliling dan bersiap-siap tabungan untuk membiayai sakitnya sendiri di masa depan, karena di usia 40-50an kita sudah harus bersiap-siap keluar masuk rumah sakit. Sakit karena minimnya hiburan hati, kebhagiaan hanya muncul dari uang dan hiburan-hiburan digital.
Hanya Kredit Sekolah Yang Tidak Ada
Pembicaraan ini sering saya lontarkan, tapi tidak begitu penting nampaknya sehingga jarang ditanggapi, sesekali saya justru ditertawakan. Beberapa teman dari luar negeri bilang bahwa mereka bisa mendapatkan beasiswa, sponsor atau kredit untuk sekolah yang kemudian dibayarkan setelah bekerja. tapi tidak di sini. Kredit selain sekolah selalu ada. kenapa? Apakah pemerintah sudah tau jika mereka mengkreditkan sekolah akan sulit dilunasi pada akhirnya? siapa yang membentuk tentang sulitnya mencari pekerjaan? tidak balance nya pendapatan dengan biaya sekolah? Pemerintah mungkin tahu ini, sehingga tidak ada kredit sekolah semudah kredit motor. Rakyat tahu tidak balance nya biaya sekolah dengan uang yang mereka dapatkan untuk memenuhi kebutuhan, lulus sma pun cukup untuk menjadi pegawai pabrik yang sudah bisa mengangsur motor dan membeli gadget untuk sekedar berkomunikasi atau fb an. Menjadi sarjana S1 kadang hanya berakhir sebagai pelayan toko, spg, atau kasir.
Masyarakat dahulu berkeinginan kuat untuk pandai, dengan ilmu akan membeli masa depan. tapi sekarang, masyarakat pesimis. Masyarakat takut sekolah tinggi. Masyarakat tidak merasa harus semangat untuk bersekolah. Pendidikan dibeli anak-anak si pemilik uang. Orang-orang pandai yang awalnya punya dedikasi tinggi pergi ke negeri orang setelah keharuman yang mereka sampaikan kalah dengan bau busuk yang menyengat. Kesadaran untuk membagikan ilmu bagi sesama dinilai pekerjaan mulia yang tidak wajar. Membagi-bagikan ilmu tidak penting lagi bahkan dinilai aneh, terkecuali dia tergabung dalam sebuah instansi. Seorang berilmu mencari murid di negeri ini. Seorang berilmu seringkali menuruti si pencari ilmu secara berlebihan. Instansi akademis seringkali mencari pemasukan seluas-luasnya dari para pencari ilmu, sehingga seorang berilmu harus mengikuti peraturan yg dibuat dalam tujuan bisnis. Menyampaikan ilmu bukan lagi seperti berdakwah, bukan seperti menyebarkan sebuah ajaran kebenaran tetapi adalah menjual suatu barang atau jasa.
Begitu banyak perubahan-perubahan yang terjadi. Semata-mata, perubahan cara berpikir masyarakat sangat tergantung pada proses penyesuaian diri atas kebijakan, sistem-sistem yang sudah diketok palu menjadi mutlak. Masyarakat mudah sekali protes ketika dihadapkan pada kondisi yang sulit, beberapa bagian masyarakat terbentuk menjadi pribadi-pribadi pemalas yang terfasilitasi akhirnya menjadi pemarah. masyarakat tidak lagi takut mati karena harapan hidup lebih baik semakin menipis. Rakyat semakin tidak punya pilihan, meskipun masih banyak masyarakat, anak muda yg mencapai sukses bermodal niat, bukan membeli mutlak dengan uang.
Saya selalu punya harapan, harapan untuk hidup dinegara yang baik...adalah negeri ini. Harapan bahwa setiap orang kembali pada dirinya, mendekat pd nuraninya, mendekat pada kemanusiaanya, bukan mengarah seperti robot atau alat-alat digital. Saya selalu masih punya harapan ada banyak generasi muda dengan pemikiran anti terjajah, anti tertindas, anti konsumerisme. saya selalu masih punya harapan ada pendidikan-pendidikan gratis dari orang-orang biasa, sehingga menyadarkan pemerintah untuk membuat universitas-universitas gratis seperti layaknya sekolah negeri di negara lain. Seperti opini seorang teman dari jerman, bahwa Indonesia belum memiliki universitas negeri, karena negeri itu milik pemerintah untuk rakyat.
Semoga negeri dmana saya lahir dan besar ini bukan menjadi alasan bagi penduduk aslinya untuk pergi dan pindah kewarganegaraan.
Tapi justru ketika sekolah mahal, tidak sebesar ini dampaknya. Apa masyarakat kita sudah sangat menempatkan pendidikan di peringkat bawah? apa mereka pesimis dengan ilmu pengetahuan yang akan membawa kemajuan? ilmu yang hanya membuang-buang uang untuk membelinya tapi tidak membawa derajat yg lebih baik bagi hidup mereka? Benarkah masyarakat kita yang selalu menuntut keinstanan di semua aspek kehidupan?
Beralihnya Cara berpikir Masyarakat
Bukankah dalam waktu yg lama, sejak dulu sebelum merdeka rakyat selalu loyal dan santun. Dmana keloyalan itu sekarang, dmana kesantunan itu sekarang? siapa yang membawa pergi. Pemerintah mencoba memberi sistem yang bijak, tp rakyat memanipulasi, tidak tertib. Jika pemerintah menertibkan, massa mengamuk. Seolah-olah terlihat rakyat yang salah. Seperti beberapa hari lalu saya melihat Amien Rais di Kick Andi, Amin Rais menyatakan bahwa rakyat lebih butuh pemimpin yang bisa memberi uang. Seolah-olah rakyat ini masih juga salah. Coba kita tarik ke belakang, ketika rakyat masih dalam keloyalan dan kesantunannya. Siapa yg mencuci otak mereka sampai keloyalan itu hilang, seolah-olah pemerintah adalah musuh besar yang harus diperangi. Kesantunan hilang, seolah-olah Polisi yg merupakan bagian masyarakat di ludahi, Mahasiswa yg merupakan bagian dr anak2 mereka sendiri di hajar, di semprot gas air mata, di hujani peluru karet. Bukan jeda yang lama antara generasi kakek saya yang sering menceritakan era sebelum 66 dengan generasi saya sekarang. Bahkan generasi ibu saya pun sudah jauh berbeda. Mulai dari cara masyarakat memperlakukan masyarakat lainya, cara masyarakat menghormati dan taat dengan aturan-aturan negara, sampai dengan pilihan-pilihan rakyat dalam mencukupi hidup. Hal apa yang merubahnya?
Baik, saya ambil dunia yang terdekat dengan saya. Pendidikan, Seni dan Gaya hidup. Ibu saya mengatakan, bahwa naik sepeda onthel (kayuh) jarak 10-20 km dulu biasa. Beberapa seniman mengatakan, mereka lebih ingin menjadi seniman kala itu dibanding dengan menjadi pegawai pemerintahan atau guru. Guru diwaktu itu senang mengabdikan diri karena mereka memiliki dedikasi tinggi tanpa mengenal jarak, berbagi ilmu bagi mereka seperti juga berdkwah, membagikan jalan kebenaran.
Sekarang, kemudahan banyak masuk. Negara-negara yang lebih dulu maju memberi banyak pengaruh kemajuan bagi Indonesia. Negara ini terus tampak maju, seolah olah terus menurus dapat mengikuti kemajuan dunia. Sampai dmana kita sekarang? kita hanya menggelinding tanpa arah, terus dan terus seperti mengalir di sungai buatan yang sudah tercetak, yang telah terdesain aliranya. Tdk ada yg bisa kita lakukan selain menjadi konsumen, sekalipun generasi kita mampu membuat pesawaat atau mobil sendiri, kita bisa lihat akan seberapa Indonesia mempercayainya, atau tindakan orang-orang atas yang kurang lebih hanya pidato. Indonesia negri para konsumen, negri yang tergantung, negri yang tertopang...sepertinya begitu.
Kredit Adalah Gaya Hidup, Pegawai Tetap Adalah SolusinyaIndonesia, apa yang tidak bisa di kredit? semua hal bisa dikredit. Mulai dari baju dalam penutup kemaluan, alat masak panci, kompor, kendaraan bermotor, perangkat hiburan dan alat komunikasi. Kredit semakin mudah, semua orang berlomba-lomba memiliki beragam kemudahan. kemudahan-kemudahan semu yang memanipulasi keadaan sbenarnya. kemudahan yang mengarahkan kita menjadi pemalas. kemalasan-kemalasan yang terfasilitasi.
Mudahnya kredit kendaraan bermotor menuntut kita menyetarakan diri dengan kemudahanya. Agar bisa rutin membayar kreditan tiap bulan, kita harus menjadi pegawai dengan gaji bulanan. Tetap, aman, bisa membeli apa saja dengan mengkredit. Kendaraan bermotor yang seharusnya bisa dimiliki oleh orang-yang mampu menjadi milik semua orang. Kita tidak perlu makan kenyang, kita tidak perlu sekolah, kita tidak perlu bekerja dengan keras tp tidak punya kendaraan bermotor itu tidak lumrah dilihat masyarakat. mengayuh sepeda itu pekerjaan berat. BBM untuk kendaraan pribadi ikut naik adalah sebuah kesulitan yang besar akhirnya.
Alat komunikasi yang disediakan dengan kredit, membuat kita mudah untuk lebih dari sekedar brkomunikasi. Janji tidak berlaku jika tidak mengulangnya dalam bentuk sms, atau bbm. Alasan untuk janji yang terlambat bisa kita sampaikan dengan santai via alat komunikasi. Lebih dari sekedar alat komunikasi, gadget adalah standard pertemanan. orang tua merasa tidak bisa mengontrol anaknya dengan baik tanpa gadget. Menjadi gaya hidup bagi generasi mudah, maksud saya generasi muda. Sehingga banyak sekali anak muda yang main beli lalu gadai dengan cepat, atau bahkan jual murah akhirnya. Ending yang sama, bekerja gajian adalah cara terbaik untuk hidup wajar.
Menjadi seniman, atau produsen suatu barang, bukan sebuah pilihan pekerjaan. Dahulu menjadi seniman gaji lebih besar dari pada pegawai, karena orang-orang penikmat hiburan, pencari pencerahan hati masih banyak. Sekarang, kebanyakan orang menjadi mangsa hiburan-hiburan digital. Pencerahan hati tidak diperlukan lagi karena semakin pentingnya waktu untuk bekerja rutin setiap hari. setiap hari yang sangat melelahkan, yang dibutuhkan hanya tidur. Menumpuk uang sebanyak-banyaknya untuk mengimbangi gaya hidup sekeliling dan bersiap-siap tabungan untuk membiayai sakitnya sendiri di masa depan, karena di usia 40-50an kita sudah harus bersiap-siap keluar masuk rumah sakit. Sakit karena minimnya hiburan hati, kebhagiaan hanya muncul dari uang dan hiburan-hiburan digital.
Hanya Kredit Sekolah Yang Tidak Ada
Pembicaraan ini sering saya lontarkan, tapi tidak begitu penting nampaknya sehingga jarang ditanggapi, sesekali saya justru ditertawakan. Beberapa teman dari luar negeri bilang bahwa mereka bisa mendapatkan beasiswa, sponsor atau kredit untuk sekolah yang kemudian dibayarkan setelah bekerja. tapi tidak di sini. Kredit selain sekolah selalu ada. kenapa? Apakah pemerintah sudah tau jika mereka mengkreditkan sekolah akan sulit dilunasi pada akhirnya? siapa yang membentuk tentang sulitnya mencari pekerjaan? tidak balance nya pendapatan dengan biaya sekolah? Pemerintah mungkin tahu ini, sehingga tidak ada kredit sekolah semudah kredit motor. Rakyat tahu tidak balance nya biaya sekolah dengan uang yang mereka dapatkan untuk memenuhi kebutuhan, lulus sma pun cukup untuk menjadi pegawai pabrik yang sudah bisa mengangsur motor dan membeli gadget untuk sekedar berkomunikasi atau fb an. Menjadi sarjana S1 kadang hanya berakhir sebagai pelayan toko, spg, atau kasir.
Masyarakat dahulu berkeinginan kuat untuk pandai, dengan ilmu akan membeli masa depan. tapi sekarang, masyarakat pesimis. Masyarakat takut sekolah tinggi. Masyarakat tidak merasa harus semangat untuk bersekolah. Pendidikan dibeli anak-anak si pemilik uang. Orang-orang pandai yang awalnya punya dedikasi tinggi pergi ke negeri orang setelah keharuman yang mereka sampaikan kalah dengan bau busuk yang menyengat. Kesadaran untuk membagikan ilmu bagi sesama dinilai pekerjaan mulia yang tidak wajar. Membagi-bagikan ilmu tidak penting lagi bahkan dinilai aneh, terkecuali dia tergabung dalam sebuah instansi. Seorang berilmu mencari murid di negeri ini. Seorang berilmu seringkali menuruti si pencari ilmu secara berlebihan. Instansi akademis seringkali mencari pemasukan seluas-luasnya dari para pencari ilmu, sehingga seorang berilmu harus mengikuti peraturan yg dibuat dalam tujuan bisnis. Menyampaikan ilmu bukan lagi seperti berdakwah, bukan seperti menyebarkan sebuah ajaran kebenaran tetapi adalah menjual suatu barang atau jasa.
Begitu banyak perubahan-perubahan yang terjadi. Semata-mata, perubahan cara berpikir masyarakat sangat tergantung pada proses penyesuaian diri atas kebijakan, sistem-sistem yang sudah diketok palu menjadi mutlak. Masyarakat mudah sekali protes ketika dihadapkan pada kondisi yang sulit, beberapa bagian masyarakat terbentuk menjadi pribadi-pribadi pemalas yang terfasilitasi akhirnya menjadi pemarah. masyarakat tidak lagi takut mati karena harapan hidup lebih baik semakin menipis. Rakyat semakin tidak punya pilihan, meskipun masih banyak masyarakat, anak muda yg mencapai sukses bermodal niat, bukan membeli mutlak dengan uang.
Saya selalu punya harapan, harapan untuk hidup dinegara yang baik...adalah negeri ini. Harapan bahwa setiap orang kembali pada dirinya, mendekat pd nuraninya, mendekat pada kemanusiaanya, bukan mengarah seperti robot atau alat-alat digital. Saya selalu masih punya harapan ada banyak generasi muda dengan pemikiran anti terjajah, anti tertindas, anti konsumerisme. saya selalu masih punya harapan ada pendidikan-pendidikan gratis dari orang-orang biasa, sehingga menyadarkan pemerintah untuk membuat universitas-universitas gratis seperti layaknya sekolah negeri di negara lain. Seperti opini seorang teman dari jerman, bahwa Indonesia belum memiliki universitas negeri, karena negeri itu milik pemerintah untuk rakyat.
Semoga negeri dmana saya lahir dan besar ini bukan menjadi alasan bagi penduduk aslinya untuk pergi dan pindah kewarganegaraan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar