Rutinitas,
peruntungan dan kepasrahan
Perjalanan
kali ini, aku menempuh untuk kota yang beberapa kali sering ku kunjungi. Kereta
yang pernah kutumpangi sebelumnya. Waktu itu 2010, pukul 3 pagi kereta kearah
kota yang sama berhenti mendadak. Rel anjlok dan kereta harus menunggu beberapa
waktu untuk perbaikan, akhirnya tertunda sekitar 3-4 jam waktu itu. Kali ini berbeda,
kali ini tepat, prediksi waktu terjadwal pada tiket tidak harus bergeser. Sesampai
di stasiun tujuan aku belajar memprediksi dan menghitung karena aku berharap
bisa bertemu seorang teman yang sedang sakit. Kuatur waktu, kuhitung-hitung
namun apa daya kegiatan prediksi memprediksiku sering sekali gagal di lapangan.
Mungkin aku kurang pandai matematik atau kurang beruntung dalam menduga-duga
namun aku harus cepat-cepat mengambil langkah lanjutan agar tidak BT berlarut.
Tidak diragukan lagi bahwa kegiatan prediksi-prediksiku tentang waktu,
perjalanan, cuaca, baterei alat perekam, alat komunikasi dan pertemuan ku
dengan orang-orang sering gagal. Apalagi ketika berada di tempat jauh, di kaki
gunung, di pelosok, di jalanan terjal, ketika melewati jembatan-jembatan setan, di jalanan lumpur campur air, di tempat
yang belum biasa kusinggahi. Terutama saat melakukan hal-hal yang tidak rutin
kulakukan. Untungnya keselamatan dan akhir yang memuaskan berkali-kali datang
padaku membayar prediksi-prediksiku yang salah.
Temanku
yang seorang pandai statistic, matematika dan mungkin fisika sekaligus sering mengatakan
padaku bahwa peruntungan, kesempatan itu dapat dihitung, diperkirakan,
diprediksi. Kemungkinan munculnya angka dadu, peluang terambilnya bola merah
dan biru, prediksi munculnya angka dan gambar pada coin. Sampai sampai
kemungkinan-kemungkinan lain dalam kehidupan sehari-hari dapat terprediksi,
mulai dari jarak, waktu, kejadian, kecenderungan-kecenderungan. Mungkin jika
dalam ilmu saya ini tentang membaca pola, kebiasaan atau rutinitas termasuk
membaca ekspresi. Pola juga sering dianggap sebagai kecenderungan umum
kebanyakan orang. Kesamaan-kesamaan dalam sebuah kelompok atau wilayah, banyak
yang mengidentikannya dengan istilah budaya. Namun diantaranya jelas ada yang
namanya ke-lain-an, fenomena, lantas orang menyebutnya keanehan. Beda lagi
dengan orang-orang jawa dahulu menyebutnya sebagai ilmu titen. Ilmu mengingat ingat. Jika ada gejala A biasanya akan
terjadi kejadian B, bahkan mereka kadang berani menjamin kepastian tentang
kebiasaan-kebiasaan itu. Jika ada hal yang tidak sesuai dengan yang biasa
mereka mengistilahkan dengan ‘ngowahi
adat’(mengubah/ tidak sesuai dengan adat) dan cenderung dianggap negative. Di
mata temanku ini, tidak ada kata terlambat karena seluruh
kemungkinan-kemungkinan dapat terbaca di jalanan, di kotanya. Bahkan cuaca
dapat diperkirakannya, meskipun tidak semutlak memprediksi waktu dan jalanan
kota. Pola yang cenderung sama mungkin mempermudahnya untuk hitung-hitungan,
mengingat-ingat, menyimpulkan yang akan terjadi. Semua hal bisa terjadwal,
namun siapa yang tidak mengenal spontan? Tentu akan dilakukan jika
menguntungkan tentunya.
Manusia
adalah sosok tanpa batas dengan berbagai ilmunya, dengan berbagai keinginannya.
Mereka bisa mengiyakan apa yg tidak dan men-tidak-kan apa yang iya. Uang adalah
rajanya, ilmu pengetahuan adalah prajuritnya dan pekerjaan menjadi kuda-kuda
yang siap perang. Siapa yang tidak ingin bekerja berpenghasilan banyak? Siapa
yang tidak takut menganggur? Alasanya uang, bukan tentang aktivitasnya lagi.
Uang tidak bisa lagi menjadi piagam/piala sebagaimana dalam lomba cerdas cermat
anak sd, yang lebih lagi adalah bekerja sudah menjadi kebutuhan yang wajib dan
mengalahkan semua tanggungjawab dan kebahagiaan yang lain. Ketidakterbatasan
manusia membuatnya merasa bisa menembus batas apa saja. Segala mimpi bisa
tercapai hanya dengan membayangkan terus-menerus, menaruh mimpi di kepalanya,
berusaha keras, semua keinginan bisa tercapai hanya dengan memperhitungkan
dengan masak dan prediksi menjadi tepat lalu keinginan terwujud. Konon mereka
bisa menjadi apa saja yang diinginkannya dan meraih apa saja yang dimauinya.
Lantas kita menjadi manusia ini kemauan siapa? Apakah ini bagian dari kemauan
kita, mimpi kita, keinginan kt yang terwujud. Manusia sering memotong balok
persegi panjang yang tertutup, menjadi kubus yang terbuka satu sisinya. Lalu sebagian
balok yang lain dibuang. Ada bagian-bagian hidup ini yang asimetris.
Asimetrispun akan mampu dihitung manusia jika benda-benda asimetris itu banyak
jumlahnya di muka bumi ini atau agak banyak lah. Ada banyak hal yang di pola
kan, ada banyak gejala yang akan terprediksi bahkan hampir semua hal. Hal yang
tidak biasa namun ada banyak, hal-hal yang biasa yang sangat banyak, hal yang
begitu-begitu saja.
Terpola,
siklus, rutin. Sampai hapal benar apa yang terjadi, merasa terjebak namun tidak
ingin beranjak atau justru merasa bahwa itu adalah pencapaian luar biasa
sampai-sampai melakukannya menjadi sangat mudah krn sudah mahir dan hapal. Di
tempat yang sudah kita hapal, kesulitan menjadi sedikit. Tidak membutuhkan
kekhawatiran apa-apa lagi. Menjadi manusia yang hebat, menguasai hidupnya dan
tidak perlu berdoa lagi. Bekerja sebanyak-banyaknya, begitu-begitu saja, lalu
jenuh dan butuh hiburan-hiburan mahal. Akhir bulan tidak punya uang, tidak
perlu khawatir cukup dengan sedikit sabar, atau cari pinjaman tidak perlu usaha
ini itu karena tanggal 1 bulan depan sudah pasti gajian. Setiap hari melewati
jalur yang sama, telat 5 menit harus lewat jalur biasa, telat 10 menit lewat
jalan tikus A, terlalu macet lewat jalan tikus B dan lain-lain. Segalanya dapat
kita prediksi tanpa kekhawatiran lagi, hal ini bukan tidak baik. Hal ini tentu
baik karena banyak orang memilih melakukannya ketimbang berdagang yang entah
laku atau tidak dalam 1 hari. Beberapa prediksi mungkin benar namun kerasnya
usaha, keberuntungan sangat menentukan. dan sebenarnya tidak ada keberuntungan
yang datang tiba-tiba. Kesempatan, keberuntungan itu hasil rajutan dari
pergerakan masa lalu. Terakhir kalau sudah maksimal lalu pasrah, Tuhan yang akan mengatur.
Menempati
tempat-tempat baru, belajar menikmati suasana baru, mengenal orang-orang
baru…seperti membuat kita mengenal penciptanya. Rasa takut, rasa penasaran,
rasa khawatir membuat kita membutuhkanNya lebih. Melewati jembatan setan, mengendarai motor di perbukitan, menyebrangi lautan,
berada tinggi diantara awan, bertutur dihadapan orang-orang baru dalam
budaya-budaya lain membuat kita lebih sering mengucap namaNya. Menyadari benar
ada hal-hal yang seketika tidak terprediksi. Mendadak ilmu tidak ada gunanya, rasa PD
hilang, kesombongan sama sekali tidak bisa diekspresikan sekalipun kita orang
terkaya atau orang paling berpengalaman dalam hidup. Kadang-kadang bukan lagi
manusia yang kita lawan, kita ajak berdiskusi tapi alam, budaya lain dan
ketidak rutinan. Sampai manusia pada titik pasrah. Pasrah pada alam, pasrah
pada apa saja yang kita yakini saat itu menguasai keadaan. Begitu pula akhirnya
dengan perjalananku kali ini, pasrah pada keadaan, orang-orang yang lebih
berhak, dan seseorang yang menguasai hatiku saat ini sekalipun aku merasa
memiliki rasa yang tulus, tidak merusak dan besar serta tidak lupa untuk selalu
kuperjuangkan. Itulah tanda sebagai manusia…ketidakterbatasan yang pasti sampai
pada batasnya, pasrah sampai Tuhan memberi celah kembali.
(Begitu banyak orang yang mengatakan padaku bahwa bekerja tidak tetap membuat kita gila kerja dan jauh dari Tuhan. Untuk apa pergi-pergi, maen tentu lebih tidak berguna ketimbang di rumah saja. Kembali lagi tergantung sudut yang kita pakai untuk memandang)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar