Check out music from Dy Murwaningrum

https://soundcloud.com/dy-murwaningrum

Foto saya
Solo- Jogja- Bandung, Indonesia
mencari kata-kata, membenturkannya pada setiap bidang dan terus memantul...

Selasa, 02 April 2013

Mahalnya Harga Sebuah Hal yang Sederhana

Mahalnya Harga Sebuah Kesederhanaan

Hari ini aku menghabiskan waktu untuk recording dan mengedit sebagian film ku. Recording aku lakukan di studio BNG solo. Studio ini seperti rumahku sendiri, aku melakukan take sekaligus mengoperatori sendiri take instrument dan vocal, namun kali ini aku mengajak 2 orang teman lain dengan harapan perasaan-perasaan kurang baik yang kubawa dari rumah ini bisa berangsur-angsur membaik. 1 lagu saja untuk hari ini. Sedikit banyak kami saling berdiskusi tentang nada. Aku , temanku bernama Azryd dan Om Bom-bom owner studio ini. Kami bicara tentang nada yang kami rasa kurang bisa dinikmati. Beberapa orang merasa setiap kali mereka membuat lick lick nada tertentu terasa terus kurang, kurang dan masih saja kurang nyaman untuk didengarkan. Sebaliknya ada sebagian orang yang mebuat lagu asal-asalan, nada asal-asalan namun terdengar bisa dinikmati. Seorang yang sudah mengalami pembelajaran yang banyak, skill yang tinggi selalu merasa kurang ketika dia membuat nada, sekalipun dia sudah menampilkan skill-skill terhebat. Bagi orang yang mendengar, mungkin cukup asyik-asyik saja, namun bagi pembuatnya berbeda. Sekilas hal ini terkesan positif, semakin seseorang pandai seseorang semakin merasa kurang dan terus kurang, haus akan ilmu.

Mengapa demikian? Mungkin saja karena skill yang semakin tinggi, nada yang dilewati semakin banyak sehingga kecenderungan untuk menghargai nada yang sederhana menjadi sulit. Misalnya suara sebuah ketukan akan dinilai sangat murah, padahal jika bunyi 1 ketukan tersebut di ekplor lebih akan menjadi sesuatu yang luar biasa. Seharusnya kemampuan skill yang semakin tinggi diimbangi dengan kesadaran untuk selalu bisa menghargai bunyi-bunyi kecil, sehingga kepekaan lebih terasah atas bunyi-bunyi sederhana. Kasus ini bisa kita identikan dengan kasus lain misalnya ketika kita menggambar. Kita memiliki ide menggambar sepeda misalnya, sedangkan kita memiliki kemampuan mengimitasi banyak hal dalam menggambar. Sebuah kertas putih kita beri gambar sepeda, lalu merasa kurang kita tambah orang, masih merasa kurang kita tambah lagi tanah, batu-batuan dan rumput. Dirasa masih kurang lagi kita tambah awan, burung-burung, pelangi, matahari, sungai, sampai kertas tersebut penuh dengan berbagai gambar. Ketika kita lihat ulang, kita menjadi kebingungan apa yang ingin kita gambar tadi? Gambar menjadi penuh, pun kita masih merasa itu jadi tidak berarti, tidak bagus karena terlalu crowded dan jauh dari konsep awal. Sebuah garis lurus saja menjadi tidak punya arti karena semakin hebatnya kita, padahal seharusnya keahlian seseorang bisa menjadikan sesuatu yang kecil, sederhana dan sepele menjadi sesuatu yang menarik, besar dan luar biasa. 

Pada kenyataanya dalam kehidupan sehari-hari hal semacam itupun berlaku. Kehidupan yang focus pada uang tidak lagi menilai receh adalah uang yang berharga. Bagi kita yang terpenting adalah kekayaan. Kekayaan bukan lagi menunjuk pada uang dalam nominal-nominal kecil. Semakin berlimpah, semakin banyak uang yang dihasilkan fungsi-fungsi uang receh dalam kehidupan kita sudah tidak ada lagi. Padahal receh-receh itu bisa kita pakai untuk membangun kehidupan beberapa orang lain, namun kita menilai kepuasan adalah kepemilikan atau pemberian dengan cara membelanjakan nominal-nominal besar. Kasus yang setara adalah pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang tidak menjamin memiliki sikap yang baik pada orang lain. Pendidikan yang tinggi bukan justru membuatnya semakin mampu bicara dengan siapa saja, menshare ilmunyakepada berbagai kalangan namun semakin membuat kotak-kotak. Membuat gab-gab dimana esensi dari ilmu-ilmu mereka tidak ada lagi. Bukankan dari awal kita paham, bahwa orang pandai adalah orang yang mampu menyentuh semua lapisan, namun kenyataanya? Lantas apa makna dari seluruh kemampuan-kemampuan yang kita punya, kekayaan-kekayaan yang kita punya. Kita akan semakin kesulitan untuk share dengan orang lain jika kita tidak mengimbangi dengan kontemplasi, perenungan-perenungan atas hal-hal kecil, kesederhanaan, kembali menempatkan diri pada titik start/ nol. 

Mari kita mengingat kembali ketika usia kita smp, sma, kita memodivikasi motor milik kita habis-habisan namun saat kita dewasa, dan motor harus segera djual, semua bentuk dikembalikan sepersis mungkin dengan ketika kita membeli, sebagaimana semula sekalipun tidak mungkin akan sama persis namun setidak-tidaknya kembali pada yang sederhana. Semoga kita menjadi bijak dalam merespon hal-hal yang telah kita miliki, baik itu hal yang bersifat bawaan(talenta) atau hal yang telah kita miliki karena pencarian-pencarian kita sendiri, pengumpulan pengumpulan kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar