Mahalnya
Harga Sebuah Kesederhanaan
Hari
ini aku menghabiskan waktu untuk recording dan mengedit sebagian film ku.
Recording aku lakukan di studio BNG solo. Studio ini seperti rumahku sendiri,
aku melakukan take sekaligus
mengoperatori sendiri take instrument dan
vocal, namun kali ini aku mengajak 2 orang teman lain dengan harapan
perasaan-perasaan kurang baik yang kubawa dari rumah ini bisa berangsur-angsur
membaik. 1 lagu saja untuk hari ini. Sedikit banyak kami saling berdiskusi
tentang nada. Aku , temanku bernama Azryd dan Om Bom-bom owner studio ini. Kami
bicara tentang nada yang kami rasa kurang bisa dinikmati. Beberapa orang merasa
setiap kali mereka membuat lick lick
nada tertentu terasa terus kurang, kurang dan masih saja kurang nyaman untuk
didengarkan. Sebaliknya ada sebagian orang yang mebuat lagu asal-asalan, nada
asal-asalan namun terdengar bisa dinikmati. Seorang yang sudah mengalami
pembelajaran yang banyak, skill yang tinggi selalu merasa kurang ketika dia
membuat nada, sekalipun dia sudah menampilkan skill-skill terhebat. Bagi orang
yang mendengar, mungkin cukup asyik-asyik saja, namun bagi pembuatnya berbeda. Sekilas
hal ini terkesan positif, semakin seseorang pandai seseorang semakin merasa
kurang dan terus kurang, haus akan ilmu.
Mengapa
demikian? Mungkin saja karena skill yang semakin tinggi, nada yang dilewati semakin
banyak sehingga kecenderungan untuk menghargai nada yang sederhana menjadi
sulit. Misalnya suara sebuah ketukan akan dinilai sangat murah, padahal jika
bunyi 1 ketukan tersebut di ekplor lebih akan menjadi sesuatu yang luar biasa. Seharusnya
kemampuan skill yang semakin tinggi diimbangi dengan kesadaran untuk selalu
bisa menghargai bunyi-bunyi kecil, sehingga kepekaan lebih terasah atas
bunyi-bunyi sederhana. Kasus ini bisa kita identikan dengan kasus lain misalnya
ketika kita menggambar. Kita memiliki ide menggambar sepeda misalnya, sedangkan
kita memiliki kemampuan mengimitasi banyak hal dalam menggambar. Sebuah kertas
putih kita beri gambar sepeda, lalu merasa kurang kita tambah orang, masih
merasa kurang kita tambah lagi tanah, batu-batuan dan rumput. Dirasa masih
kurang lagi kita tambah awan, burung-burung, pelangi, matahari, sungai, sampai
kertas tersebut penuh dengan berbagai gambar. Ketika kita lihat ulang, kita
menjadi kebingungan apa yang ingin kita gambar tadi? Gambar menjadi penuh, pun
kita masih merasa itu jadi tidak berarti, tidak bagus karena terlalu crowded dan jauh dari konsep awal. Sebuah
garis lurus saja menjadi tidak punya arti karena semakin hebatnya kita, padahal
seharusnya keahlian seseorang bisa menjadikan sesuatu yang kecil, sederhana dan
sepele menjadi sesuatu yang menarik, besar dan luar biasa.
Pada
kenyataanya dalam kehidupan sehari-hari hal semacam itupun berlaku. Kehidupan
yang focus pada uang tidak lagi menilai receh adalah uang yang berharga. Bagi kita
yang terpenting adalah kekayaan. Kekayaan bukan lagi menunjuk pada uang dalam
nominal-nominal kecil. Semakin berlimpah, semakin banyak uang yang dihasilkan
fungsi-fungsi uang receh dalam kehidupan kita sudah tidak ada lagi. Padahal receh-receh
itu bisa kita pakai untuk membangun kehidupan beberapa orang lain, namun kita
menilai kepuasan adalah kepemilikan atau pemberian dengan cara membelanjakan
nominal-nominal besar. Kasus yang setara adalah pendidikan. Semakin tinggi
pendidikan seseorang tidak menjamin memiliki sikap yang baik pada orang lain.
Pendidikan yang tinggi bukan justru membuatnya semakin mampu bicara dengan
siapa saja, menshare ilmunyakepada berbagai kalangan namun semakin membuat
kotak-kotak. Membuat gab-gab dimana esensi dari ilmu-ilmu mereka tidak ada
lagi. Bukankan dari awal kita paham, bahwa orang pandai adalah orang yang mampu
menyentuh semua lapisan, namun kenyataanya? Lantas apa makna dari seluruh
kemampuan-kemampuan yang kita punya, kekayaan-kekayaan yang kita punya. Kita akan
semakin kesulitan untuk share dengan orang lain jika kita tidak mengimbangi
dengan kontemplasi, perenungan-perenungan atas hal-hal kecil, kesederhanaan,
kembali menempatkan diri pada titik start/ nol.
Mari
kita mengingat kembali ketika usia kita smp, sma, kita memodivikasi motor milik
kita habis-habisan namun saat kita dewasa, dan motor harus segera djual, semua
bentuk dikembalikan sepersis mungkin dengan ketika kita membeli, sebagaimana
semula sekalipun tidak mungkin akan sama persis namun setidak-tidaknya kembali
pada yang sederhana. Semoga kita menjadi bijak dalam merespon hal-hal yang
telah kita miliki, baik itu hal yang bersifat bawaan(talenta) atau hal yang
telah kita miliki karena pencarian-pencarian kita sendiri, pengumpulan
pengumpulan kita sendiri.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar