MASA MUDA DAN PILIHAN HIDUP
Minggu pagi yang ingin kubunuh
karena aku enggan melalui hari dengan pagi yang murung. Aku terlalu gelisah
hari ini karena cinta, karenanya sepertinya aku tampak sangat bodoh. Pagi yang
kunikmati dengan duduk di tepi jalan, melihat-lihat orang, mencuri-curi pandang
dengan pedagang lalu biasanya aku akan ditawari dagangannya jika kami bertemu
mata. Aku berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, agar waktu berlalu
cepat. Sop matahari dan teh hangat, akhirnya aku menyerah pada lapar. Di
hadapanku dua orang kakek dengan dua buah sepeda, mereka berhenti lalu makan di
meja sebelahku. Keduanya mengobrol tentang si A, si B, anak nomor sekian,
pekerjaan anak-anak sampai bicara partai politik. Makan mereka berdua telah
terlebih dulu selesai karena aku sengaja menikmati makananku pelan-pelan. Satu
kakek bangkit dengan berpegangan pada kursi-kursi dan meja di sebelahnya, lalu
kakek lainnya meminta dibantu untuk berdiri. Salah seorang kakek mengeluarkan
dompet. Dompetnya berisi banyak sekali uang lima puluh ribuan dan segepok kartu
nama. Satu lembar lima puluh ribuan diambil lalu dibayarkan dan menerima
kembalian Satu sepeda diambil oleh mereka berdua, saling membantu lalu satu
sepeda lainnya dikeluarkan pedagang sop matahari. Melihat mereka membuatku
semakin berkaca-kaca dan sedikit takut menghadapi hari tua. Mempertanyakan
kembali tentang hari ini.
MEMILIH PERNAH ADA ATAU TIDAK ADA
SAMA SEKALI
Setiap hari berlalu begitu saja,
kesedihan kita turuti sebagai bagian alur yang mungkin terus-menerus menguasai
kita seumur hidup atau sebaliknya. Kesenangan dikejar habis-habisan sampai apa
saja menjadi cara yang lumrah, ketika kebanyakan orang menganggapnya lumrah. Melihat
dua kakek itu rasanya seperti merasakan bahwa aku akan seperti keduanya seuatu
hari nanti. Yang renta, yang akan terus- terusan minta tolong pada lainnya,
yang masa mudanya yang jaya tidak lagi diingat oleh orang-orang disekitarnya. Terbesit
sebentar di kepala ku, “lantas kenapa kita harus begini begitu toh apa pun akan
musnah dan selesai. Lantas kenapa harus jadi sesuatu jika akhirnya renta dan
hilang?”. Yah segera aku berpikir lagi, menegur diriku sendiri “setidak-tidaknya
ada yang pernah terbangun,ada yang pernah terdokumentasi, ada yang pernah
bermanfaat, ada yang pernah popular, ada yang pernah mengubah dunia…ada yang
pernah bla bla bla…”. Sepertinya aku memilih option ke dua dari dua option yang
muncul di kepalaku. Tanpa kita sadari ada beberapa hal berubah setelah
seseorang memasuki kehidupan kita, meskipun sebentar. Ada hal yang berubah
karena kita pernah ada di suatu tempat. Kita yang mungkin terasa kecil, selalu
bisa membawa pengaruh, pergeseran atau perubahan atas sesuatu. Kita yang merasa
kuat dan hebat juga bisa jadi berubah pikiran karena hal-hal kecil dan
sederhana yang kita lihat. Hidup hanya satu kali dan terbatas oleh waktu,
kenapa tidak kita menjadi sesuatu?.
Memilih tetap tidak menjadi
apa-apa karena toh pada akhirnya kita akan renta dan hilang, menurutku adalah
pikiran orang-orang yang tidak menghargai proses. Orang-orang instant yang bagi
mereka hanya melihat akhirnya saja, bahwa semua akan tidak ada. Benar, tidak
seorangpun menyangkal bahwa hidup itu tidak kekal namun jika kita hanya
menganggap bahwa, apabila hari ini sesuatu itu tidak ada berarti dia tidak
pernah ada. Anggapan itu adalah anggapan orang-orang yang hanya mengakui hasil,
tanpa dia sadari bahwa ada proses yang sudah pernah berjalan, ada bagian yang
berubah, bertambah, terkikis, bergeser. Hidup yang satu kali dan terbatas durasi
yang tertentu pula mengapa tidak berani untuk membuat cerita? Ketika kita
hilang masih ada yang tersisa. Kenapa tidak mau jadi bangunan besar, ketika
runtuh dan terganti bangunan baru, masih tersisa foto-foto dokumentasinya. Untuk
menjadi sesuatu yang elok tidak ada yang dicapai tanpa usaha keras dan
memaksimalkan diri, terus memahami diri, menguasai diri supaya tidak ada
cara-cara salah dalam upaya menjadi sesuatu yang elok. Begitu banyak niat-niat
baik yang dilakukan dengan cara yang tidak searah dengan kebaikan itu. Perlombaan
mencukupi kebutuhan hidup, perlombaan memenuhi juga kebutuhan hidup orang lain,
perlombaan kewibawaan, perlombaan alim-aliman, perlombaan pintar-pintaran, kaya
kayaan, baik-baikan sampai perlombaan masuk surga pun diwarnai sikut-sikutan
karena ketidak pedulian memahami diri sendiri apalagi orang lain. Di sini
sekarang, ketika banyak orang berebut kekuasaan dan uang masih ada orang-orang
tertentu yang mau mengalah dan hidup biasa-biasa saja. Namun ketika surga dan
neraka di gelar di sini dan semua orang berebut surga, kira-kira ada atau tidak
orang yang akan mengalah untuk menempati neraka saja? Saya pun tidak akan mau. Tuhan
memiliki cara pandang sendiri yang lebih bijak dan adil dari pada pandangan
manusia. Akhir-akhir ini bahkan cara pandang Tuhan sering kita pakai untuk
membenarkan kesalahan-kesalahan besar, massal dan merugikan banyak orang. Karena
Tuhan maha memaklumi semua orang bicara bagi-bagi hasil korupsi sebagai bonus
padahal jutaan orang tidak mendapat hak nya. Membayar sejumlah uang tertentu
agar dapat bekerja di suatu tempat juga dianggap wajar, padahal ada
kompetensi-kompetensi hebat yang tidak punya pekerjaan karena bagiannya sudah
dibeli. Sepertinya nasib bisa ditebus dengan uang. Yang muda sudah selalu
menginginkan yang mudah, karena peraturan dari generasi sebelumnya yang telah
menitipkan cerahnya masa depan di pundak kita, membuat beberapa orang tidak mau
memilih untuk menjadi diri sendiri padahal dia sudah sekolah tinggi.
MERDEKA DAN MENJADI DIRI SENDIRI
Kita terlalu terbiasa dengan
menyamaratakan tujuan hidup atau makna kebahagiaan, melumrahkan yang massal,
menyingkirkan yang sedikit, menganggap salah yang berbeda, meremehkan usaha
yang belum berhasil dan mengahakimi perspektif yang lain. Manusia terlalu
senang dalam istilah pasrah sebelum melakukan apa-apa, yang sama artinya dengan
menyerah sebelum kalah. Pasrah itu di belakang, setelah segala hal diupayakan
maksimal. Menerima nasib buruk bukan menghadapi hidup. Kita terlalu banyak
melibatkan Tuhan untuk menyelesaikan berbagai urusan-urusan kecil yang kita tau
bisa kita selesaikan. Kadang kita hanya butuh ijin Tuhan karena segala bekal,
talenta, ilmu, keberanian sudah diberikan pada kita bahkan termasuk jaminan
keselamatan. Berdoa bukan berarti menyerahkan semuanya untuk diselesaikan oleh
Tuhan, meskipun kepasrahan harus ada dalam jiwa kita karena ada bagian yang
diluar kemampuan kita dan harus Tuhan yang mnyelesaikanya.
Beberapa persoalan, termasuk
sudut pandang yang seragam, mentalitas para pelaku-pelaku perlombaan pencitraan
yang selalu ingin nampak menang di mata manusia, terkadang membuat kita
ragu-ragu dan kesulitan untuk menjadi diri sendiri. Kesulitan untuk membebaskan
diri untuk memiliki sudut pandang sendiri. Ingin merdeka, maka kita sekolah. Ingin
menjadi diri sendiri maka kita sekolah. Merdeka dari kebodohan, kemiskinan,
ketertindasan, termasuk pemerkosaan hak dan sudut pandang. Lantas sekolah
mengajarkan kita untuk kembali seragam dalam berpikir, sama dengan pak guru,
sama dengan bu dosen. Menjadi pintar, bukan selalu untuk menjadikan kita jadi
presiden, menjadikan kita orang terkaya, menjadikan kita orang teralim,
menjadikan kita orang paling berwibawa tapi dapat menjadikan kita menjadi diri
sendiri. Menjadi diri yang membuat kita bahagia meskipun seorang perancang
taman, pemain musik, penulis berita. Dengan kompetensi, kemampuan yang kita
punya kita akan melakukan apa yang membuat kita bahagia dengan sepenuh hati,
dengan kemampuan yang tinggi, dengan tanpa harus cari muka atau menjadi orang
lain. Memulai menjadi diri sendiri, menjadi bangunan yang terbaik. Ketika saatnya
harus rapuh, ketika harus renta dan roboh…biarlah datang saatnya. Jika bangunan
sudah roboh sebelum berdiri kokoh, pasrah saja, karena fondasinya masih kuat
biarkan berdiri bangunan lain yang berdiri diatasnya. Lebih baik melakukan
sesuatu dari pada tidak pernah sama sekali. Lebih baik berbekas dari pada tidak
pernah berani menapak. Muda adalah masa yang hebat, Muda menjadi sangat biasa
memberikan cinta hanya pada satu orang, Muda harus peka pada dunia yang masih
kekurangan cinta, Muda harus tahu tentang anak-anak yang sudah hidup tanpa
cinta, Muda membagi satu cinta untuk dunia salah satunya untukmu... Kapan muda
berakhir? Itu pilihan kita kapan kita mengakhiri semangat kecuali jika Tuhan
sudah meminta kita kembali.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar