DIRI DAN KEHIDUPAN
Kehidupan telah menempatkan kita
sebagai sosok manusia di bumi. Antar manusia diberi kesamaan dalam fisik
jika ada perbedaan itu tipis dan umumnya dapat terlihat. Mungkin satu orang
berbadan kurang lengkap namun pada bagian lain memiliki kesempurnaan yang lebih
dari lainnya. Mungkin satu orang berbadan lengkap namun pada bagian lain
tidak sesempurna manusia yang dianggap normal. Ada pula manusia yang memiliki
pemikiran, jiwa yang berbeda dengan manusia kebanyakan. Bentuk fisik, jiwa atau
pemikiran yang “Lain” sering kali dianggap sebagai “kelainan”, padahal perbedaan itu bisa dianggap sebagai bagian dari identitas diri. Lantas pernahkah kita mencari tau siapakah “aku” di hadapan jagat raya ini? Dimanakah
aku dalam peta bumi ini? Harus seperti apa dan sebebas apa aku?
DIRI DAN CERMIN
Aku mencari jawaban melalui bibir
banyak manusia yang menyampaikan pengakuan-pengakuan pemikirannya. Aku mencari
tahu dari sikap, gerak dan kasus yang sering menjadi refleksi sudut pandangnya.
Aku memaksakan diri untuk lebih dalam mencari tahu diriku melalui pertemuanku
dengan banyak orang, berdekatan dengan kehidupannya sampai aku hampir hafal
pola-pola yang sama antar manusia. Terkadang aku menemukan sikap-sikap,
pemikiran yang fenomenal. Beberapa kali meskipun jarang, kusenggangkan waktu untuk
2-3jam berada di coffee shop yang berada
di salah satu pintu keluar-masuk sebuah mall di Solo. Aku melihat keserupaan
dalam style mereka bahkan beberapa
wajah mereka terlihat sama. Siapa yang mengikuti siapa. Kita gemar
menyeragamkan style, menyeragamkan pemikiran,
sudut pandang bahkan jiwa-jiwa kita pun kadang latah namun tentang tujuan hidup
apa kita masih akan sama?
Senior adalah satu sosok penting dalam hidup kita. Orang-orang terdahulu
mempengaruhi kita namun bukan berarti kita tidak lagi punya pilihan lain dalam
hidup yang sebagian besar telah tercetak oleh para senior. Kita semua tahu
bahwa takdir tidak mungkin tertukar dan tanggung jawab di tangan masing-masing.
Aku menggaris bawahi soal takdir karena aku belum mengerti tentang kesamaan
takdir dan kodrat, sedangkan sebagian besar manusia menyamakannya. Kodrat lebih
kumengerti sebagai efek, fungsi dari penciptaan kita yang kadang istilah kodrat
dipakai untuk meninggikan pihak tertentu. Sedang takdir kuanggap sebagai jalan
hidup yang harus kita jalani, termasuk hal-hal yang tidak sesuai dengan kodrat
yang telah disepakati orang-orang. Persoalan tanggung jawab tentu ada di tangan masing-masing, misalkan kita sudah
bayar mahal untuk tiket sebuah alat transportasi, namun kita tidak bisa
sepenuhnya menuntut keselamatan pada pengendali alat transportasi dan menuntut
pada istansi manapun sekalipun secara tertulis kita adalah tanggung jawabnya.
Mencari lewat cermin. Kita memiliki
cermin-cermin kehidupan, dalam istilah jawa disebut “kaca benggala”. Mejadikan orang lain sebagai seseorang yang berada
dalam cermin di hadapan kita, akan mempermudah kita untuk menempatkan diri
sekaligus mengerti tentang bagaimana diri kita. Ketika kita menghadapi seorang
yang tidak kita suka, tentu kita akan malu untuk menggunakan cara yang sama
karena kita akan jadi orang yang kembar dengannya. Ketika kita menghadapi
seseorang yang kita sukai perangainya, kita akan menyamakan gerak untuk
bersikap mirip karena kita senang diperlakukan demikian. Bercermin pada orang
lain membuat kita dapat mengapresiasi sudut pandang orang lain. Apresiasi sangat penting, karena dari situlah kita tidak
hanya memahami namun juga dapat menghargai tentang jalan yang ditempuh orang
lain. Hidup manusia tidak pernah lepas dari proses imitasi pada alam. Setelah benar
mengimitasi lalu kita berada pada proses meng-improve, memadukan menjadi
sesuatu baru yaitu, kita.
Ketika aku bercermin aku pernah menanyai diriku,
kenapa harus bercermin? Aku sudah tidak perlu cermin untuk merapihkan rambut
yang cepak, aku juga tidak perlu melihat bedak, eyeliner, eye shadow yang nylepret karena aku tidak berdandan
seperti itu. Ternyata bercermin bukan hanya untuk menjadikan kita lebih baik,
ingin lebih dan lebih serta meniadakan sendiri kecantikan-kecantikan yang kita
punya. Bercermin berguna untuk menandai diri. Oh aku adalah seseorang yang
berkulit gelap, aku adalah seseorang yang bermata sipit, aku adalah orang yang
berhidung tidak terlalu mancung. Itulah aku. Itu identitas fisikku. Cermin dapat
membantu kita mendefinisikan diri, memperbaiki diri sesuai dengan kapasitas
kita, yang pasti rasa mencintai diri kita. Pujian muncul dari orang tercinta
atau orang yang suka berbasa basi namun kecintaan pada hal terkecil diri kita
hanya bisa kita lakukan sendiri. Pada ruas jari-jari, pada lubang telinga kita,
pada ketiak kita hanya kita yang memahami. Begitulah cermin kadang lupa
kugunakan atau kusalahi penggunaannya. Seringkali kita terjebak dengan cermin.
Mengkritisi diri yang berkulit kelam dan membanding-bandingkannya dengan yang
lain lalu mencoba menyamakan dengan berbagai cara. Membandingkan hidung dengan
yang lain lalu mencoba menyamakannya dengan berbagai cara. Mungkin inilah
jawaban kenapa kebanyakan orang berwajah setipe bahkan aku melihat tidak ada
aksen-aksen di wajahnya. Apakah mungkin begitu juga tentang pemikiran,
kegemaran bahkan tujuan hidup?
BAHAN DIRI DAN TUJUAN HIDUP
November lalu diseminarkan judul
makalah “Pemuda dalam Budaya Jawa” di Teater Besar ISI Surakarta, dengan tiga
pembicara yang kesemuanya laki-laki dan memberikan jabaran dengan contoh-contoh
lakon pria juga. Pada banyak kasus memang perempuan harus nyata lebih cerdas
mengadopsi, memilih dan mengambil pelajaran tentang kehidupan karena keteladanan
itu umumnya ditempelkan pada sosok pria. Dalam hal ini aku lebih ingin berbagi
bukan tentang gender, melainkan
tentang kedirian kita. Hal yang penting dalam seminar ini bagi kedirian salah
satunya adalah mitos selain patos(karakter)
dan logos(ilmu-ilmu yang ada pada
diri kita). Mitos didefinisikan sebagai hal-hal yang masih menjadi tanda tanya dan
kebutuhan kita adalah menguaknya. Mitos tentang diri kita biasanya diidentikkan dengan link yang menghubungkan antara kita dengan kehidupan
lintas generasi dan dengan alam semesta. Siapakah leluhur-leluhur kita, sehebat
apa mereka, apa yang telah mereka lakukan di dunia ini lalu sampai pada diri
kita, seperti apa. Siapakah kita, apa yang sudah kita lakukan, apa yang selama
ini kita pikirkan setiap hari, apa yang masih belum kita gerakkan dari diri
kita. Menilik kembali siapa leluhur kita seringkali menjadikan kita bersemangat
untuk berbenah. Tidak ada satupun dari kita yang lahir dari leluhur yang tidak
bermakna. Semua dari kita lahir dari orang-orang besar.
Siapa kita di jagat raya ini,
hubungan kita dengan alam. Bagaimana matahari membagi hangatnya tanpa berkoar
meminta sejuk. Mahluk-mahluk yang kaki-kakinya tertancap pada tanah tak mampu
menggerakkan tubuhnya kecuali jika angin menjabat tangannya, bisa memberikan
bunga yang setiap mata akan jatuh cinta. Rumput-rumput yang tidak pernah nyata
minta diperhatikan selalu tumbuh tanpa terpelihara dan menjadi makanan enak
untuk ternak. Mahluk yang katanya juga memiliki otak namun tidak mampu berpikir
seperti manusia kadang memberikan rasa bahagia untuk manusia entah karena apa
yang dihasilkannya atau kelucuannya, ketangkasannya. Aku secara pribadi merasa
sangat perlu menata kembali alur hidup ku jalani tanpa alasan. Setiap manusia memiliki tujuan dan mimpi-mimpi sepanjang hari. Bagi mereka
yang sudah merasa berhasil dalam hidup mungkin merasa tidak perlu lagi
menanyakannya. Mungkin memang sebagian orang tidak merasa butuh, atau mereka
takut hidupnya akan mundur selangkah, kesuksesan akan berkurang. Bagi beberapa
orang rasa hampa bisa dibayar dengan tempat hiburan. Bagi beberapa orang
kesuksesannya bisa di sandarkan pada orang lain. Bagi beberapa orang mencari
perhatian itu lebih penting ketimbang mencari respect dan nilai atas hidupnya,
sehingga merasa tidak perlu mengetahui siapa dirinya sendiri.
Siapakah kita sangat penting
untuk menentukan tujuan hidup. Untuk kita tau apa yang akan kita bawa jika
pergi nanti dan apa yang harus ditinggalkan bagi yang di bumi. Sesederhana kita
memasak, ketan dan beras, keduanya cenderung memiliki bentuk yang sama namun keduanya
adalah adalah bahan yang berbeda. Jika tujuan kita membuat kue lemper tentu
tidak akan sempurna jika kita menggunakan beras sebagai bahannya. Pengetahuan tentang
bahan akan menentukan, kita akan mengimitasi makanan berjudul apa lalu
meng-improve nya menjadi apa lalu menjadikan makanan baru yang bagaimana.
Siapa kita, apa yang sudah pernah
kita bikin diwaktu kecil, apa yang sudah pernah kita usahakan, siapa leluhur
kita, bagaimana cara mereka hidup, apa potensi mereka, apa kemampuan kita,
kesemuanya penting untuk menentukan tujuan
kita. Penting untuk mempertahankan semangat kita dalam berjuang dan bersabar. Mungkin
kita tidak persis seperti apa yang sudah dilakukan kakek nenek kita, namun ada
semangatnya, ada cara yang sama untuk membuat perubahan. Ada makna yang bisa
kita tangkap dari kehidupan orang lain, ada nilai yang kita rasakan dari hidup
kita, ada pergerakan. Tidak semua harus serba seragam dan seperti kebanyakan
orang, karena diri kita utuh diciptakan untuk membuat pilihan dan tujuan hidup
sendiri-sendiri. Hati kita dan otak kita, tidak dititipkan pada senior kita,
tokoh agama kita, pemerintah kita atau lembaga-lembaga akademis kita. Hati dan
otak kita diserahkan pada tubuh kita masing-masing, dengan pemikiran yang
terserap dari mana saja. Tubuh dan jiwa kita dibentuk dengan cetakan yang
berbeda-beda.
Bagiku, penting artinya menguasai diri sendiri. Mengetahui diri sendiri. Seandainya kita lain, bukan karena kelainan. Seandainya kita sama kita tau alasannya. Seandainya kita memiliki tujuan, kita tahu tujuan kita adalah tujuan paling pas untuk manusia berbahan 'aku'.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar