Check out music from Dy Murwaningrum

https://soundcloud.com/dy-murwaningrum

Foto saya
Solo- Jogja- Bandung, Indonesia
mencari kata-kata, membenturkannya pada setiap bidang dan terus memantul...

Senin, 13 Januari 2014

DIRI DAN KEHIDUPAN

 DIRI DAN KEHIDUPAN


Kehidupan telah menempatkan kita sebagai sosok manusia di bumi. Antar manusia diberi kesamaan dalam fisik jika ada perbedaan itu tipis dan umumnya dapat terlihat. Mungkin satu orang berbadan kurang lengkap namun pada bagian lain memiliki kesempurnaan yang lebih dari lainnya. Mungkin satu orang berbadan lengkap namun pada bagian lain tidak sesempurna manusia yang dianggap normal. Ada pula manusia yang memiliki pemikiran, jiwa yang berbeda dengan manusia kebanyakan. Bentuk fisik, jiwa atau pemikiran yang “Lain” sering kali dianggap sebagai “kelainan”, padahal perbedaan itu bisa dianggap sebagai bagian dari identitas diri. Lantas pernahkah kita mencari tau siapakah “aku” di hadapan jagat raya ini? Dimanakah aku dalam peta bumi ini? Harus seperti apa dan sebebas apa aku?

DIRI DAN CERMIN
Aku mencari jawaban melalui bibir banyak manusia yang menyampaikan pengakuan-pengakuan pemikirannya. Aku mencari tahu dari sikap, gerak dan kasus yang sering menjadi refleksi sudut pandangnya. Aku memaksakan diri untuk lebih dalam mencari tahu diriku melalui pertemuanku dengan banyak orang, berdekatan dengan kehidupannya sampai aku hampir hafal pola-pola yang sama antar manusia. Terkadang aku menemukan sikap-sikap, pemikiran yang fenomenal. Beberapa kali meskipun jarang, kusenggangkan waktu untuk 2-3jam berada di coffee shop yang berada di salah satu pintu keluar-masuk sebuah mall di Solo. Aku melihat keserupaan dalam style mereka bahkan beberapa wajah mereka terlihat sama. Siapa yang mengikuti siapa. Kita gemar menyeragamkan style, menyeragamkan pemikiran, sudut pandang bahkan jiwa-jiwa kita pun kadang latah namun tentang tujuan hidup apa kita masih akan sama? 

Senior adalah satu sosok penting dalam hidup kita. Orang-orang terdahulu mempengaruhi kita namun bukan berarti kita tidak lagi punya pilihan lain dalam hidup yang sebagian besar telah tercetak oleh para senior. Kita semua tahu bahwa takdir tidak mungkin tertukar dan tanggung jawab di tangan masing-masing. Aku menggaris bawahi soal takdir karena aku belum mengerti tentang kesamaan takdir dan kodrat, sedangkan sebagian besar manusia menyamakannya. Kodrat lebih kumengerti sebagai efek, fungsi dari penciptaan kita yang kadang istilah kodrat dipakai untuk meninggikan pihak tertentu. Sedang takdir kuanggap sebagai jalan hidup yang harus kita jalani, termasuk hal-hal yang tidak sesuai dengan kodrat yang telah disepakati orang-orang. Persoalan tanggung jawab tentu ada  di tangan masing-masing, misalkan kita sudah bayar mahal untuk tiket sebuah alat transportasi, namun kita tidak bisa sepenuhnya menuntut keselamatan pada pengendali alat transportasi dan menuntut pada istansi manapun sekalipun secara tertulis kita adalah tanggung jawabnya.

Mencari lewat cermin. Kita memiliki cermin-cermin kehidupan, dalam istilah jawa disebut “kaca benggala”. Mejadikan orang lain sebagai seseorang yang berada dalam cermin di hadapan kita, akan mempermudah kita untuk menempatkan diri sekaligus mengerti tentang bagaimana diri kita. Ketika kita menghadapi seorang yang tidak kita suka, tentu kita akan malu untuk menggunakan cara yang sama karena kita akan jadi orang yang kembar dengannya. Ketika kita menghadapi seseorang yang kita sukai perangainya, kita akan menyamakan gerak untuk bersikap mirip karena kita senang diperlakukan demikian. Bercermin pada orang lain membuat kita dapat mengapresiasi sudut pandang orang lain. Apresiasi  sangat penting, karena dari situlah kita tidak hanya memahami namun juga dapat menghargai tentang jalan yang ditempuh orang lain. Hidup manusia tidak pernah lepas dari proses imitasi pada alam. Setelah benar mengimitasi lalu kita berada pada proses meng-improve, memadukan menjadi sesuatu baru yaitu, kita. 

Ketika aku bercermin aku pernah menanyai diriku, kenapa harus bercermin? Aku sudah tidak perlu cermin untuk merapihkan rambut yang cepak, aku juga tidak perlu melihat bedak, eyeliner, eye shadow yang nylepret karena aku tidak berdandan seperti itu. Ternyata bercermin bukan hanya untuk menjadikan kita lebih baik, ingin lebih dan lebih serta meniadakan sendiri kecantikan-kecantikan yang kita punya. Bercermin berguna untuk menandai diri. Oh aku adalah seseorang yang berkulit gelap, aku adalah seseorang yang bermata sipit, aku adalah orang yang berhidung tidak terlalu mancung. Itulah aku. Itu identitas fisikku. Cermin dapat membantu kita mendefinisikan diri, memperbaiki diri sesuai dengan kapasitas kita, yang pasti rasa mencintai diri kita. Pujian muncul dari orang tercinta atau orang yang suka berbasa basi namun kecintaan pada hal terkecil diri kita hanya bisa kita lakukan sendiri. Pada ruas jari-jari, pada lubang telinga kita, pada ketiak kita hanya kita yang memahami. Begitulah cermin kadang lupa kugunakan atau kusalahi penggunaannya. Seringkali kita terjebak dengan cermin. Mengkritisi diri yang berkulit kelam dan membanding-bandingkannya dengan yang lain lalu mencoba menyamakan dengan berbagai cara. Membandingkan hidung dengan yang lain lalu mencoba menyamakannya dengan berbagai cara. Mungkin inilah jawaban kenapa kebanyakan orang berwajah setipe bahkan aku melihat tidak ada aksen-aksen di wajahnya. Apakah mungkin begitu juga tentang pemikiran, kegemaran bahkan tujuan hidup?   


BAHAN DIRI DAN TUJUAN HIDUP
November lalu diseminarkan judul makalah “Pemuda dalam Budaya Jawa” di Teater Besar ISI Surakarta, dengan tiga pembicara yang kesemuanya laki-laki dan memberikan jabaran dengan contoh-contoh lakon pria juga. Pada banyak kasus memang perempuan harus nyata lebih cerdas mengadopsi, memilih dan mengambil pelajaran tentang kehidupan karena keteladanan itu umumnya ditempelkan pada sosok pria. Dalam hal ini aku lebih ingin berbagi bukan tentang ­gender, melainkan tentang kedirian kita. Hal yang penting dalam seminar ini bagi kedirian salah satunya adalah mitos selain patos(karakter) dan logos(ilmu-ilmu yang ada pada diri kita). Mitos didefinisikan sebagai hal-hal yang masih menjadi tanda tanya dan kebutuhan kita adalah menguaknya. Mitos tentang diri kita biasanya diidentikkan dengan link yang menghubungkan antara kita dengan kehidupan lintas generasi dan dengan alam semesta. Siapakah leluhur-leluhur kita, sehebat apa mereka, apa yang telah mereka lakukan di dunia ini lalu sampai pada diri kita, seperti apa. Siapakah kita, apa yang sudah kita lakukan, apa yang selama ini kita pikirkan setiap hari, apa yang masih belum kita gerakkan dari diri kita. Menilik kembali siapa leluhur kita seringkali menjadikan kita bersemangat untuk berbenah. Tidak ada satupun dari kita yang lahir dari leluhur yang tidak bermakna. Semua dari kita lahir dari orang-orang besar.

Siapa kita di jagat raya ini, hubungan kita dengan alam. Bagaimana matahari membagi hangatnya tanpa berkoar meminta sejuk. Mahluk-mahluk yang kaki-kakinya tertancap pada tanah tak mampu menggerakkan tubuhnya kecuali jika angin menjabat tangannya, bisa memberikan bunga yang setiap mata akan jatuh cinta. Rumput-rumput yang tidak pernah nyata minta diperhatikan selalu tumbuh tanpa terpelihara dan menjadi makanan enak untuk ternak. Mahluk yang katanya juga memiliki otak namun tidak mampu berpikir seperti manusia kadang memberikan rasa bahagia untuk manusia entah karena apa yang dihasilkannya atau kelucuannya, ketangkasannya. Aku secara pribadi merasa sangat perlu menata kembali alur hidup ku jalani tanpa alasan. Setiap manusia memiliki tujuan dan mimpi-mimpi sepanjang hari. Bagi mereka yang sudah merasa berhasil dalam hidup mungkin merasa tidak perlu lagi menanyakannya. Mungkin memang sebagian orang tidak merasa butuh, atau mereka takut hidupnya akan mundur selangkah, kesuksesan akan berkurang. Bagi beberapa orang rasa hampa bisa dibayar dengan tempat hiburan. Bagi beberapa orang kesuksesannya bisa di sandarkan pada orang lain. Bagi beberapa orang mencari perhatian itu lebih penting ketimbang mencari respect dan nilai atas hidupnya, sehingga merasa tidak perlu mengetahui siapa dirinya sendiri. 

Siapakah kita sangat penting untuk menentukan tujuan hidup. Untuk kita tau apa yang akan kita bawa jika pergi nanti dan apa yang harus ditinggalkan bagi yang di bumi. Sesederhana kita memasak, ketan dan beras, keduanya cenderung memiliki bentuk yang sama namun keduanya adalah adalah bahan yang berbeda. Jika tujuan kita membuat kue lemper tentu tidak akan sempurna jika kita menggunakan beras sebagai bahannya. Pengetahuan tentang bahan akan menentukan, kita akan mengimitasi makanan berjudul apa lalu meng-improve nya menjadi apa lalu menjadikan makanan baru yang bagaimana.

Siapa kita, apa yang sudah pernah kita bikin diwaktu kecil, apa yang sudah pernah kita usahakan, siapa leluhur kita, bagaimana cara mereka hidup, apa potensi mereka, apa kemampuan kita, kesemuanya  penting untuk menentukan tujuan kita. Penting untuk mempertahankan semangat kita dalam berjuang dan bersabar. Mungkin kita tidak persis seperti apa yang sudah dilakukan kakek nenek kita, namun ada semangatnya, ada cara yang sama untuk membuat perubahan. Ada makna yang bisa kita tangkap dari kehidupan orang lain, ada nilai yang kita rasakan dari hidup kita, ada pergerakan. Tidak semua harus serba seragam dan seperti kebanyakan orang, karena diri kita utuh diciptakan untuk membuat pilihan dan tujuan hidup sendiri-sendiri. Hati kita dan otak kita, tidak dititipkan pada senior kita, tokoh agama kita, pemerintah kita atau lembaga-lembaga akademis kita. Hati dan otak kita diserahkan pada tubuh kita masing-masing, dengan pemikiran yang terserap dari mana saja. Tubuh dan jiwa kita dibentuk dengan cetakan yang berbeda-beda. 

Bagiku, penting artinya menguasai diri sendiri. Mengetahui diri sendiri. Seandainya kita lain, bukan karena kelainan. Seandainya kita sama kita tau alasannya. Seandainya kita memiliki tujuan, kita tahu tujuan kita adalah tujuan paling pas untuk manusia berbahan 'aku'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar