HANYA MEDIA SOSIAL YANG PEDULI PIKIRAN KITA
(perbincangan
mentah dengan diri)
Sudah
lama rasanya aku tidak mencoba berbincang dengan diri, adakah yang pernah melakukan?
Kesenanganku seringkali membuat aku berjauhan dari diri. Kesibukan membuatku mengabaikan
apa yang diriku rasakan dan inginkan. Sampai pada titik dimana aku harus
tersingkir dari kesenangan dan kesibukanku. Dipaksa sepi untuk kembali menanyai
diri. Apa yang aku mau? Apa yang aku butuh? Apa yang aku ingin? Apa yang
kuharapkan? Apa mimpiku? Apa yang membuatku khawatir? Lalu seketika aku mulai
memetakan pikiranku, kembali membuat mind
map seperti yang biasa kulakukan saat aku kebingungan.
Saat
aku tidak lagi bisa membedakan mana pikiranku dan bukan. Mana keinginanku dan
bukan. Seringkali kekhawatiran memanipulasi semuanya. Berapa bagian dari diriku
yang kunyatakan? Hidup ini seperti detik bertemu detik, terus merangkaikan
menit lalu jam dan seterusnya. Hitungan tahun, manusia seringkali menjadi beku
pada keinginan banyak kepala. Kepatuhan adalah kebanggaan. Mempertuan banyak
orang lain menjadi bentuk penghargaan, karena power mereka kita pertegas.
Khawatir pada prasangka-prasangka orang-orang yang kita sangkakan sendiri.
Khawatir merupakan tempat tertinggi dan menjadi prioritas utama. Kedudukannya mampu
memanipulasi diri sendiri. Rasa takut seringkali menjadi biang keladi segala
keputusan. Akhirnya menghilangkan kekhawatiran, mengurangi kekhawatiran,
menjadi pilihan utama. “aku bahagia hidup denganmu, dalam susah senang, bebas
atau khawatir, besar atau terpuruk”, pada kenyataannya khawatir menjadi pilihan
pertama yang harus dituntaskan, lalu seketika khawatir hilang disebutlah itu
bahagia meskipun –tanpa- denganmu.
Hidup
menjauh dari gengsi memang sulit. Prestige menjadi salah satu yang penting,
diinginkan bahkan dibutuhkan. Apa yang orang-orang pikirkan tentang diri kita
menjadi sangat penting. Setiap diri berdiri dalam karakternya masing-masing
sebenarnya, namun sulit jika kita tidak sepaham maka kita dianggap tidak
memiliki karakter kuat. Parah lagi sebagian dari mereka adalah plagiat karakter
pula. Banyak juga yang memang sengaja import karakter dari negeri seberang.
Lebih-lebih lagi jaman yang mengagungkan modernitas dan kealiman dalam satu
packaging utuh. Semua barang dipenuhi barang import. Jati diri pun import,
pengetahuan, wawasan, pemikiran, sudut pandang semua import tanpa diolah lagi
dalam kearifan lokal. Gengsi, dominan menjadi kebutuhan. Kita tidak perlu lagi
seperti dulu, membeda-bedakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Manusia dengan
mudah menyebut keinginan sebagai kebutuhan atau menyebut kebutuhan menjadi
keinginan. Bisa juga menyebut impian sebagai harapan atau sebaliknya, maka
wajarlah mimpi hanya dibiarkan menjadi mimpi yang mengapung-ngapung di tengah
lautan berharap disambar burung lalu dilemparkannya ke arah angkasa.
Kebahagiaan
sendiri seringkali luruh saat kita melihat orang lain bahagia. Mengukur bahagia
sudah tidak lagi sulit. Saat kita memiliki apa yang sama dengan dimiliki orang
lain, itu salah satu ukuran bahagia. Kita bahagia karena taman bunga yang
sedang tumbuh, seketika kebahagiaan itu luruh karena melihat kabar kawan lama
liburan ke eropa. Skill dan hoby kita biarkan terbuang begitu saja karena
seorang kawan telah sukses melamar menjadi pegawai bank,lalu kita kepanikan
untuk mengejar ngejar hal yang sama persis. Lantas kebahagiaan itu datang dari
mana? Kehidupan orang lain? Kita merasa bahagia setelah menemui pembanding dan
kebahagiaan kita akan luruh setelah diperbandingkan.
Hidup
menjadi terasa terpojok saat kita memilih kebahagiaan yang berbeda dengan yang
lain. Kita terasing saat kita melompati salah satu fase yang lumrah dalam hidup
orang-orang. Kita tersingkir saat kita menyatakan cita rasa yang berbeda dengan
yang pernah ada. Hidup ini memang tidak boleh berkelok, hidup ini tidak boleh
melompat, hidup ini tidak boleh membuat jalur jalur baru, hidup ini harus terus
menerus melewati jalan yang sama dimana smua orang melewatinya. Melewati jalan
sama yang tidak pernah diperbaharui aspalnya. Jalan sama yang sudah berubah
panorama sekelilingnya. Jalan sama yang sudah berubah hambatannya. Jalan sama
yang juga harus sama cara berjalannya.
Kapan
pikiran-pikiran kita sendiri kita gunakan? Berapa persen pikiran-pikiran kita
yang kita lakukan? Kapan keinginan-keinginan kita sendiri yang tidak muncul
dari rasa iri? Kapan kita tidak berubah rubah dan terus berubah karena
pengaruh-pengaruh keinginan orang lain dan definisi keberhasilan menurut orang
lain? Menanyai kembali pikiran dan rasa dalam diri. Rasa yang menjadi titik
harapan terakhir saat nalar tidak mampu lagi menembus, pun sudah termanipulasi.
Segala bentuk ketakutan sudah memanipulasi rasa. Persaingan, iri, rasa tidak
aman, semua sudah membuat diri kita jauh dari diri sendiri. Itu semua yang kulihat
pada sebagian besar orang-orang di sekitarku.
Entah
apa makna sebenar benarnya bahwa Tuhan adalah maha pembolak balik hati. Entah
apa makna bahwa rasa manusia seperti gelombang lautan, kadang pasang kadang
surut. Ya, Tuhan berkekuatan membolak balik, merubah rubah perasaan manusia
namun jika kita memberi waktu diri bicara dengan diri sendiri bisakah kita
tanyai dari mana asalnya hati yang berubah? Salah satunya, salah satunya sekali
lagi salah satunya saja adalah dari pikiran-pikiran orang-orang. Rasa takut,
rasa khawatir, rasa sungkan dan lainnya.
Begitu
banyak hal diatas, menjadi alasan kita merubah keputusan. Berbalik arah.
Mundur. Beralih sudut pandang dan yang fatal adalah menyerah. Memiliki sesuatu
tanpa tahu maknanya, itu bagian dari trend yang memang sudah wajar. Melakukan
apa-apa yang biasa dilakukan orang itu menjadi batas kita dinyatakan normal.
Memiliki keinginan dan kebutuhan serta impian yang sama dengan mayoritas
penduduk setempat ya tentu itu adalah batas dimana kita tidak dikatakan gila.
Lantas dimana perlunya kita menanyai diri sendiri? Mengenali diri? Jika kita
sendiri tidak berani lagi menanyai diri jangan berharap orang lain mau menanyai
apa yang kita maui. Yah minimal kita sendirilah yang menanyai apa yang kita
rasakan dan pikirkan. Dari beberapa orang yang berhadapan dengan kita, berapa
dari mereka yang menanyai apa yang sedang kita rasai atau pikirkan? Pantas saja
hanya massanger, jejaring social (BBM,Facebook, Twitter, segala media chating,
dll) yang selalu menanyai kita. What’s your mind!! Betapa baiknya para
jejaring-jejaring social itu.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar