Check out music from Dy Murwaningrum

https://soundcloud.com/dy-murwaningrum

Foto saya
Solo- Jogja- Bandung, Indonesia
mencari kata-kata, membenturkannya pada setiap bidang dan terus memantul...

Senin, 07 Juli 2014

HANYA MEDIA SOSIAL YANG PEDULI PIKIRAN KITA



HANYA MEDIA SOSIAL YANG PEDULI PIKIRAN KITA

(perbincangan mentah dengan diri)

Sudah lama rasanya aku tidak mencoba berbincang dengan diri, adakah yang pernah melakukan? Kesenanganku seringkali membuat aku berjauhan dari diri. Kesibukan membuatku mengabaikan apa yang diriku rasakan dan inginkan. Sampai pada titik dimana aku harus tersingkir dari kesenangan dan kesibukanku. Dipaksa sepi untuk kembali menanyai diri. Apa yang aku mau? Apa yang aku butuh? Apa yang aku ingin? Apa yang kuharapkan? Apa mimpiku? Apa yang membuatku khawatir? Lalu seketika aku mulai memetakan pikiranku, kembali membuat mind map seperti yang biasa kulakukan saat aku kebingungan.

Saat aku tidak lagi bisa membedakan mana pikiranku dan bukan. Mana keinginanku dan bukan. Seringkali kekhawatiran memanipulasi semuanya. Berapa bagian dari diriku yang kunyatakan? Hidup ini seperti detik bertemu detik, terus merangkaikan menit lalu jam dan seterusnya. Hitungan tahun, manusia seringkali menjadi beku pada keinginan banyak kepala. Kepatuhan adalah kebanggaan. Mempertuan banyak orang lain menjadi bentuk penghargaan, karena power mereka kita pertegas. Khawatir pada prasangka-prasangka orang-orang yang kita sangkakan sendiri. Khawatir merupakan tempat tertinggi dan menjadi prioritas utama. Kedudukannya mampu memanipulasi diri sendiri. Rasa takut seringkali menjadi biang keladi segala keputusan. Akhirnya menghilangkan kekhawatiran, mengurangi kekhawatiran, menjadi pilihan utama. “aku bahagia hidup denganmu, dalam susah senang, bebas atau khawatir, besar atau terpuruk”, pada kenyataannya khawatir menjadi pilihan pertama yang harus dituntaskan, lalu seketika khawatir hilang disebutlah itu bahagia meskipun –tanpa- denganmu.

Hidup menjauh dari gengsi memang sulit. Prestige menjadi salah satu yang penting, diinginkan bahkan dibutuhkan. Apa yang orang-orang pikirkan tentang diri kita menjadi sangat penting. Setiap diri berdiri dalam karakternya masing-masing sebenarnya, namun sulit jika kita tidak sepaham maka kita dianggap tidak memiliki karakter kuat. Parah lagi sebagian dari mereka adalah plagiat karakter pula. Banyak juga yang memang sengaja import karakter dari negeri seberang. Lebih-lebih lagi jaman yang mengagungkan modernitas dan kealiman dalam satu packaging utuh. Semua barang dipenuhi barang import. Jati diri pun import, pengetahuan, wawasan, pemikiran, sudut pandang semua import tanpa diolah lagi dalam kearifan lokal. Gengsi, dominan menjadi kebutuhan. Kita tidak perlu lagi seperti dulu, membeda-bedakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Manusia dengan mudah menyebut keinginan sebagai kebutuhan atau menyebut kebutuhan menjadi keinginan. Bisa juga menyebut impian sebagai harapan atau sebaliknya, maka wajarlah mimpi hanya dibiarkan menjadi mimpi yang mengapung-ngapung di tengah lautan berharap disambar burung lalu dilemparkannya ke arah angkasa.

Kebahagiaan sendiri seringkali luruh saat kita melihat orang lain bahagia. Mengukur bahagia sudah tidak lagi sulit. Saat kita memiliki apa yang sama dengan dimiliki orang lain, itu salah satu ukuran bahagia. Kita bahagia karena taman bunga yang sedang tumbuh, seketika kebahagiaan itu luruh karena melihat kabar kawan lama liburan ke eropa. Skill dan hoby kita biarkan terbuang begitu saja karena seorang kawan telah sukses melamar menjadi pegawai bank,lalu kita kepanikan untuk mengejar ngejar hal yang sama persis. Lantas kebahagiaan itu datang dari mana? Kehidupan orang lain? Kita merasa bahagia setelah menemui pembanding dan kebahagiaan kita akan luruh setelah diperbandingkan. 

Hidup menjadi terasa terpojok saat kita memilih kebahagiaan yang berbeda dengan yang lain. Kita terasing saat kita melompati salah satu fase yang lumrah dalam hidup orang-orang. Kita tersingkir saat kita menyatakan cita rasa yang berbeda dengan yang pernah ada. Hidup ini memang tidak boleh berkelok, hidup ini tidak boleh melompat, hidup ini tidak boleh membuat jalur jalur baru, hidup ini harus terus menerus melewati jalan yang sama dimana smua orang melewatinya. Melewati jalan sama yang tidak pernah diperbaharui aspalnya. Jalan sama yang sudah berubah panorama sekelilingnya. Jalan sama yang sudah berubah hambatannya. Jalan sama yang juga harus sama cara berjalannya. 

Kapan pikiran-pikiran kita sendiri kita gunakan? Berapa persen pikiran-pikiran kita yang kita lakukan? Kapan keinginan-keinginan kita sendiri yang tidak muncul dari rasa iri? Kapan kita tidak berubah rubah dan terus berubah karena pengaruh-pengaruh keinginan orang lain dan definisi keberhasilan menurut orang lain? Menanyai kembali pikiran dan rasa dalam diri. Rasa yang menjadi titik harapan terakhir saat nalar tidak mampu lagi menembus, pun sudah termanipulasi. Segala bentuk ketakutan sudah memanipulasi rasa. Persaingan, iri, rasa tidak aman, semua sudah membuat diri kita jauh dari diri sendiri. Itu semua yang kulihat pada sebagian besar orang-orang di sekitarku. 

Entah apa makna sebenar benarnya bahwa Tuhan adalah maha pembolak balik hati. Entah apa makna bahwa rasa manusia seperti gelombang lautan, kadang pasang kadang surut. Ya, Tuhan berkekuatan membolak balik, merubah rubah perasaan manusia namun jika kita memberi waktu diri bicara dengan diri sendiri bisakah kita tanyai dari mana asalnya hati yang berubah? Salah satunya, salah satunya sekali lagi salah satunya saja adalah dari pikiran-pikiran orang-orang. Rasa takut, rasa khawatir, rasa sungkan dan lainnya.

Begitu banyak hal diatas, menjadi alasan kita merubah keputusan. Berbalik arah. Mundur. Beralih sudut pandang dan yang fatal adalah menyerah. Memiliki sesuatu tanpa tahu maknanya, itu bagian dari trend yang memang sudah wajar. Melakukan apa-apa yang biasa dilakukan orang itu menjadi batas kita dinyatakan normal. Memiliki keinginan dan kebutuhan serta impian yang sama dengan mayoritas penduduk setempat ya tentu itu adalah batas dimana kita tidak dikatakan gila. Lantas dimana perlunya kita menanyai diri sendiri? Mengenali diri? Jika kita sendiri tidak berani lagi menanyai diri jangan berharap orang lain mau menanyai apa yang kita maui. Yah minimal kita sendirilah yang menanyai apa yang kita rasakan dan pikirkan. Dari beberapa orang yang berhadapan dengan kita, berapa dari mereka yang menanyai apa yang sedang kita rasai atau pikirkan? Pantas saja hanya massanger, jejaring social (BBM,Facebook, Twitter, segala media chating, dll) yang selalu menanyai kita. What’s your mind!! Betapa baiknya para jejaring-jejaring social itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar