Check out music from Dy Murwaningrum

https://soundcloud.com/dy-murwaningrum

Foto saya
Solo- Jogja- Bandung, Indonesia
mencari kata-kata, membenturkannya pada setiap bidang dan terus memantul...

Rabu, 28 Oktober 2015

INDONESIA DAN SPORTIFITAS

Indonesia dan Sportifitas

Indonesia. Masih pengalaman di sebuah negeri itu saja yang saya pernah tahu. Saya belum pernah menjalani hari-hari panjang dan berbagai pengalaman di negeri yang lain. Pengalaman terkadang membawa rasa geram, rasa cemas, rasa tidak puas, rasa iba dan bahkan rasa bahagia. Berpindah dari kota saya lahir menuju ke kota dimana saya harus menuntut ilmu. Lalu berpindah lagi ke kota dimana saya belajar tentang berbagai pengetahuan. Lalu berpindah lagi ke kota dimana saya mulai bekerja. Kanak menuju dewasa saya menikmati hari hari di negeri ini. Negeri yang memberi saya tanah untuk tinggal dan makan serta air untuk minum, tumbuh dan membersihkan diri. Berbagai peristiwa membuat saya bahagia, senang namun acapkali membuat saya khawatir dan sesekali membenci yang lain namun terpendam.
Indonesia. Dengan banyak kotak di dalamnya. Antar kotak sesekali beririsan, dan sesekali saling berbenturan. Mungkin begitulah wajarnya hidup dimanapun juga, mungkin. Mengingat kembali waktu saya kecil, pada saat pesta rakyat demokrasi. Saya masih duduk di sekolah dasar, pergi bersama ayah saya untuk menjemput ibu. Kerumunan rakyat yang mengatasnamakan pesta demokrasi memenuhi jalan. Mungkin, semuanya legal semua sudah wajar. Bagi saya saat itu yang masih SD mungkin juga wajar kalau saya merasa cemas begitu juga teman saya yang lain. Kami tidak diijinkan bermain saat itu. Tidak diijinkan keluar jauh dari rumah. Bersepeda di bagian pinggir jalan, karena suara motor bising, pengang di telinga, berbagai orang dengan berbagai gaya di jalanan sedang mengekspresikan kebebasannya. Memblokade jalan, membunyikan klakson dengan berlebihan, suara knalpot yang disetting untuk memenuhi kepala kita dengan suara bising. Saya belum bisa menulis waktu itu dan saya tidak tahu bahwa hal tersebut dinamakan kebebasan. Dinamakan pesta demokrasi. Dinamakan hak setiap orang yang wajib kita hargai. Saya hanya memahaminya sebagai sesuatu yang harus ditakuti, karena selalu ada korban dan saya mengenal sebagian dari mereka yang berpesta.
Indonesia. Negeri yang penuh kebersamaan, sangat membahagiakan tapi kadang juga mengesalkan. Masyarakat yang hidup bersama, saling mengenal akrab. Saya ingat juga waktu itu sekitar tempat kerja paman saya. Sangat dekat jarak antar rumah. Sangat akrab dengan para tetangga yang pekerjaannya beragam. Ada polisi, satpol pp, ada pns, ada tukang sampah, ada guru, ada juga pegawai rumah sakit. Ada begitu banyak manfaat dan sekaligus rasa sungkan yang harus dipertaruhkan di sana. Ketika salah satu tetangga melanggar aturan lalulintas, mungkin seorang polisi akan kesulitan menolak ketika dimintai tolong untuk mengambil STNK. Menolak menjadi terbeban, membantu juga akan merasa terbeban. Mungkin di masa sekarang, kesadaran masyarakat tentang aturan sudah lebih tinggi dan hal ini mungkin tidak banyak berlaku lagi(mungkin). Berbagai kejadian ironis bahkan saya sering jumpai. Pada musim demo mahasiswa, aparat keamanan dan mahasiswa bereteru dimana keduanya adalah bagian dari masyarakat. Para aparat keamanan itu kembali ke rumah, pulang bersama warga yang lain dimana disitu pula para mahasiswa dan keluaranya tinggal. Mereka sama-sama masyarakat.
Indonesia. Selalu memberikan pengalaman berulang, karena saya masih tinggal di sini. Sisa trauma masa lalu yang tersisa mungkin masih ada. Betapa takutnya saya saat orang-orang memblokade jalan, menyelinap diantara motor yang saya kendarai. Mereka melajukan motornya dengan berbelok belok, tentu ini membahayakan para pengguna jalan yang lain. Setiap pertandingan bola baik di tempat saya dilahirkan, menuntut ilmu ataupun di kota dimana saya bekerja kesemuanya selalu membuat saya takut. Selalu ada saja berita tentang korban jiwa. Sepak bola adalah tanda geliat rakyat. Kemenangannya seperti kemenangan sebuah partai, kemenangan sebuah agama, kemenangan sebuah harga diri suatu bangsa. Lantas, jika gelaran kejuaraan tersebut dipersaingkan antar propinsi, antar kota, antar desa bagaimana jadinya? Bukan permainannya yang salah tapi sikap mental pendukungnya. Sportif bukan hannya kewajiban atlit tapi juga sikap mental yang harus ditanamkan setiap manusia di negeri ini. Sportifitas bukan hanya harus dipelajari para atlit namun juga setiap anak yang akan tumbuh dewasa dan terjun ke masyarakat.
Kita ganti judul. Bukan lagi tentang pesta demokrasi, rasa sungkan pada tetangga dan sepak bola. Judulnya tentang sportifitas. Sportifitas melakukan pekerjaan dengan tanggung jawab yang baik. Sportifitas bermain jujur dalam turnamen. Sportifitas turut menjaga kedamaian, ketentraman umum. Sportifitas untuk menjaga infrastruktur yang telah kita nikmati juga. Sportifitas untuk membuat orang lain merasa tidak khawatir dan tidak bising.

Sering saya bertanya, mengapa ekspresi kegembiraan adalah pengerusakan. Ini sangat ironis. Usaha untuk menuntut keadilan juga dengan pengerusakan. Mengekspresikan kesedihan dan kekecewaan juga dengan pengerusakan. Cukup aneh...ketika kita mendukung sesuatu yang sama, menginginkan sesuatu yang sama namun kita merasa takut pada masyarakat kita sendiri. Kita mendukung partai yang sama (mungkin) tapi kita takut pada pendukung partai yang sama. Kita mendukung tim bola yang sama tapi kita merasa was-was dengan sikap pendukung tim tersebut di jalanan. Kita bertetangga dengan pihak-pihak yang berwenang mengayomi dan melindungi masyarakat namun kita merasa memendam rasa benci pada mereka, karena kejujurannya atau malah karena ketidakjujurannya. Bukankah mereka sama dengan kita? Kita berada di tempat yang sama dan dengan keinginan yang mungkin juga sama. Kadang kita harus tertawa dengan hati yang ketakutan. Kadang kita harus tersenyum dengan dalam perasaan benci yang terpendam. Menjadi terlihat munafik memang, namun ini yang dirasakan banyak orang, jika mereka berani mengakui.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar