Indonesia
dan Sportifitas
Indonesia. Masih
pengalaman di sebuah negeri itu saja yang saya pernah tahu. Saya belum pernah
menjalani hari-hari panjang dan berbagai pengalaman di negeri yang lain.
Pengalaman terkadang membawa rasa geram, rasa cemas, rasa tidak puas, rasa iba
dan bahkan rasa bahagia. Berpindah dari kota saya lahir menuju ke kota dimana
saya harus menuntut ilmu. Lalu berpindah lagi ke kota dimana saya belajar
tentang berbagai pengetahuan. Lalu berpindah lagi ke kota dimana saya mulai
bekerja. Kanak menuju dewasa saya menikmati hari hari di negeri ini. Negeri
yang memberi saya tanah untuk tinggal dan makan serta air untuk minum, tumbuh
dan membersihkan diri. Berbagai peristiwa membuat saya bahagia, senang namun
acapkali membuat saya khawatir dan sesekali membenci yang lain namun terpendam.
Indonesia.
Dengan banyak kotak di dalamnya. Antar kotak sesekali beririsan, dan sesekali
saling berbenturan. Mungkin begitulah wajarnya hidup dimanapun juga, mungkin.
Mengingat kembali waktu saya kecil, pada saat pesta rakyat demokrasi. Saya
masih duduk di sekolah dasar, pergi bersama ayah saya untuk menjemput ibu.
Kerumunan rakyat yang mengatasnamakan pesta demokrasi memenuhi jalan. Mungkin,
semuanya legal semua sudah wajar. Bagi saya saat itu yang masih SD mungkin juga
wajar kalau saya merasa cemas begitu juga teman saya yang lain. Kami tidak
diijinkan bermain saat itu. Tidak diijinkan keluar jauh dari rumah. Bersepeda
di bagian pinggir jalan, karena suara motor bising, pengang di telinga,
berbagai orang dengan berbagai gaya di jalanan sedang mengekspresikan
kebebasannya. Memblokade jalan, membunyikan klakson dengan berlebihan, suara
knalpot yang disetting untuk memenuhi kepala kita dengan suara bising. Saya belum
bisa menulis waktu itu dan saya tidak tahu bahwa hal tersebut dinamakan
kebebasan. Dinamakan pesta demokrasi. Dinamakan hak setiap orang yang wajib
kita hargai. Saya hanya memahaminya sebagai sesuatu yang harus ditakuti, karena
selalu ada korban dan saya mengenal sebagian dari mereka yang berpesta.
Indonesia.
Negeri yang penuh kebersamaan, sangat membahagiakan tapi kadang juga
mengesalkan. Masyarakat yang hidup bersama, saling mengenal akrab. Saya ingat
juga waktu itu sekitar tempat kerja paman saya. Sangat dekat jarak antar rumah.
Sangat akrab dengan para tetangga yang pekerjaannya beragam. Ada polisi, satpol
pp, ada pns, ada tukang sampah, ada guru, ada juga pegawai rumah sakit. Ada
begitu banyak manfaat dan sekaligus rasa sungkan yang harus dipertaruhkan di
sana. Ketika salah satu tetangga melanggar aturan lalulintas, mungkin seorang
polisi akan kesulitan menolak ketika dimintai tolong untuk mengambil STNK.
Menolak menjadi terbeban, membantu juga akan merasa terbeban. Mungkin di masa
sekarang, kesadaran masyarakat tentang aturan sudah lebih tinggi dan hal ini
mungkin tidak banyak berlaku lagi(mungkin). Berbagai kejadian ironis bahkan
saya sering jumpai. Pada musim demo mahasiswa, aparat keamanan dan mahasiswa
bereteru dimana keduanya adalah bagian dari masyarakat. Para aparat keamanan
itu kembali ke rumah, pulang bersama warga yang lain dimana disitu pula para
mahasiswa dan keluaranya tinggal. Mereka sama-sama masyarakat.
Indonesia.
Selalu memberikan pengalaman berulang, karena saya masih tinggal di sini. Sisa
trauma masa lalu yang tersisa mungkin masih ada. Betapa takutnya saya saat
orang-orang memblokade jalan, menyelinap diantara motor yang saya kendarai.
Mereka melajukan motornya dengan berbelok belok, tentu ini membahayakan para
pengguna jalan yang lain. Setiap pertandingan bola baik di tempat saya dilahirkan,
menuntut ilmu ataupun di kota dimana saya bekerja kesemuanya selalu membuat
saya takut. Selalu ada saja berita tentang korban jiwa. Sepak bola adalah tanda
geliat rakyat. Kemenangannya seperti kemenangan sebuah partai, kemenangan
sebuah agama, kemenangan sebuah harga diri suatu bangsa. Lantas, jika gelaran
kejuaraan tersebut dipersaingkan antar propinsi, antar kota, antar desa
bagaimana jadinya? Bukan permainannya yang salah tapi sikap mental
pendukungnya. Sportif bukan hannya kewajiban atlit tapi juga sikap mental yang
harus ditanamkan setiap manusia di negeri ini. Sportifitas bukan hanya harus
dipelajari para atlit namun juga setiap anak yang akan tumbuh dewasa dan terjun
ke masyarakat.
Kita ganti
judul. Bukan lagi tentang pesta demokrasi, rasa sungkan pada tetangga dan sepak
bola. Judulnya tentang sportifitas. Sportifitas melakukan pekerjaan dengan
tanggung jawab yang baik. Sportifitas bermain jujur dalam turnamen. Sportifitas
turut menjaga kedamaian, ketentraman umum. Sportifitas untuk menjaga infrastruktur
yang telah kita nikmati juga. Sportifitas untuk membuat orang lain merasa tidak
khawatir dan tidak bising.
Sering saya
bertanya, mengapa ekspresi kegembiraan adalah pengerusakan. Ini sangat ironis.
Usaha untuk menuntut keadilan juga dengan pengerusakan. Mengekspresikan
kesedihan dan kekecewaan juga dengan pengerusakan. Cukup aneh...ketika kita
mendukung sesuatu yang sama, menginginkan sesuatu yang sama namun kita merasa
takut pada masyarakat kita sendiri. Kita mendukung partai yang sama (mungkin)
tapi kita takut pada pendukung partai yang sama. Kita mendukung tim bola yang
sama tapi kita merasa was-was dengan sikap pendukung tim tersebut di jalanan.
Kita bertetangga dengan pihak-pihak yang berwenang mengayomi dan melindungi
masyarakat namun kita merasa memendam rasa benci pada mereka, karena
kejujurannya atau malah karena ketidakjujurannya. Bukankah mereka sama dengan
kita? Kita berada di tempat yang sama dan dengan keinginan yang mungkin juga
sama. Kadang kita harus tertawa dengan hati yang ketakutan. Kadang kita harus
tersenyum dengan dalam perasaan benci yang terpendam. Menjadi terlihat munafik
memang, namun ini yang dirasakan banyak orang, jika mereka berani mengakui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar