Menelusur Kembali Ucapan Terimakasih yang Tersisih
Berawal dari seporsi makanan yang kita santap
bersama, lalu penyadaran atas kelezatannya. Jarang tersadari bahwa kemampuan
mengecap, mengunyah dan menelan makanan dengan baik adalah bagian kesehatan
tubuh yang dianugrahkan tidak pada setiap makhluk. Makanan dan unsur-unsurnya,
bahannya, cara pembuatannya, kokinya juga bagian lain yang tidak terputus dari
kenikmatan mengecap. Mensyukuri kemampuan kita membeli makanan dari pekerjaan
yang diberikan pada kita karena ilmu, tenaga, waktu dan keahlian kita (mungkin dibagikan
secara cumacuma, acak dan bermisi) adalah kesinambungan lain dari terimakasih
kita pada makanan. Cinta adalah rasa lain yang mengalir saat kita menyantap
makanan. Nikmatnya menyantap seporsi makanan sederhana bersama orang yang kita
cintai (mungkin suami, anak, ibu, adik, sahabat dll). Terimakasih masih banyak
cabang dan rantingnya meski tentu pasti berakar.
Berterimakasih tentu lebih baik jika
menyeluruh, namun rasanya begitu sulit jika harus mengeja satu per satu kenikmatan
meski ada muara yang tak mungkin kita ingkari yaitu Tuhan. Dialah akar dari
semua tumbuhan kenikmatan. Dia menciptakan banyak hal sebelum kita, alam
semesta dan manusia sebelum kita. Dia juga menciptakan yang bersamaan dengan
kita. Dia juga menciptakan sesuatu yang akhirnya akan dipertemukan dengan kita,
juga hal-hal yang suatu waktu akan berpisah pula dengan kita. Dia juga
menciptakan sesuatu yang akan kita tinggalkan, meneruskan langkah kita. Muara
memang selalu Dia, namun semesta dan isinya adalah hal tampak yang pantas kita
hargai sebagai diri kita sendiri, sesama makhluk, sebuah karya dan mahakarya.
Tuhan adalah kreatornya.
Semesta:
Terbatas dan Tak Terbatas
Terimakasih selalu bertingkattingkat,
bersambungsambung, seperti syaraf dalam tubuh kita yang manjadikan satu gerak
utuh manusia yang berinteraksi dengan semestanya. Ada bumi yang lebih dulu
lahir dan kemudian harus tetap ada meski sampai kita tiada. Terimakasih
terhubung pada diri kita dan kedalamannya baik yang ragawi maupun rasa.
Terimakasih tidak semestinya ditujukan pada hal-hal material saja namun juga
yang tak tampak, spirit, rasa, tekad, niat dan yang Maha menggerakkannya. Tuhan
menampakkan cintanya pada bentuk yang tak tersadari manusia. terimakasih juga
tidak harus melulu vertikal menuju yang transenden namun juga yang horizontal
terlihat.
Semesta adalah salah satu muara kecil dari
sebuah kata terimakasih yang jarang tersadari. Diucapkanpun kadang terlupa,
apalagi disampaikan dalam gerak tubuh manusia, dalam langkah dan perilakunya.
Manusia terlihat sebagai mahluk yang takmau terganggu kenyamanannya sedikitpun,
dan senantiasa ingin bersenang-senang dengan memuncak dengan sedikit lupa bahwa
bahagia itulah pencapaian. Kadang bahagia datang setelah getir dan sendu.
Semesta adalah ruang sebagai wadah fisik,
roh, maupun pemikiran. Semesta adalah ruang percintaan kita dengan sesama
mahluk semesta, ruang pencapaian kebahagiaan dan selanjutnya kita tinggalkan.
Semesta juga ruang bersemayamnya roh yang kasat mata melalui tubuh. Tubuh dan
kerumitan sistemnya adalah semesta bagi roh, dimana rasa pemikiran dan jiwa
juga ada di dalamnya. Semesta itu bertingkattingkat pula, semesta hati, semesta
pemikiran, semesta tubuh (fisik), semesta alam, semesta jagad. Dalam pandangan
Jawa, seorang harus menyadari “sangkan paraning dumadi”, yaituu tentang asal
muasal dari mana datang dan kemana akan pergi. Semesta mewadahi kita dalam
kebebasan namun sekaligus keterbatasan, ketakutan.
Terimakasih pada kebebasan hal-hal yang tak
benda. Cara berpikir, cinta yang kita rasakan, kebencian yang dipendam adalah
kebebasan mutlak dalam jagad semesta non fisik diri kita. Keterbtasan untuk
mengungkapkan semuanya dengan lugas dan gamblang adalah bagian keberuntungan
yang kita terima lainnya. Berterimakasihlah jika kita masih diberi kekuatan
untuk mampu menjaga perasaan, kebahagiaan dan kehidupan baik orang lain meski
ada kebebasan rasa yang kita pendam sendiri. Perumpamaan lain yang kongkrit
tentang keterbatasan yang menguntungkan adalah keterbatasan keahlian kita. Jika
saja kita mampu dalam segala hal, maka tidak ada fokus dan penemuan yang kita
lakukan untuk orang-orang di sekitar kita. Keterbatasan pendengaran hingga
frekuensi tertentu juga menjadi keuntungan dari gangguan ribuan mahluk yang beraktivitas
dalam berbagai frekuensi. Keterbatasan meliha hal yang tak kasat juga menjadi
keuntungan tersendiri, meski beberapa diantara kita memiliki kemampuan spesial
namun tentu bagi yang memilikinya pun dapat menempatkannya sendiri.
Semesta mewadahi yang bebas, sebebasbebasnya
berkeliaran pada ruang tanpa wujud. Semesta adalah wadah yang terbatas, karena
setiap yang berujud mengalami kerusakan maka dalam kebebasan kita ada pembatas yang menjaga
dari rusaknya sebagian semesta.
Mungkin cukup sekali saya pun menyadari
betapa “terimakasih” tidak pantas diucapkan pada satu mahluk saja, namun mengucapkannya setiap saat juga rasanya sangat
sulit dan syukur adalah salah satu cara mewakili keseluruhan ucapan
terimakasih. Individu sering membuat muara
terimakasih pada hal-hal yang memang sengaja dipilihnya sendiri, tanpa
membiarkan logikanya menelusur. Terimakasihnya ditujukan pada hal yang dia
maui, yang membahagiakannya sendiri. Pada satu wujud saja yang diingini. Terimakasih
sering hanya diucapkan untuk tercapainya hal-hal yang paling diingini, jika
tidak maka dianggaplah kesialan. Syukur memang tidak bisa dipaksakan, manusia
memilih waku kapan dia bersyukur dan berterimakasih.
Mencoba menyadarkan diri melalui
pengalaman-pengalaman lalu,
tentang terimakasih yang tersisih, terimakasih yang menguap karena kekecewaan.
Seringkali tidak disadari bahwa langkah sudah sedemikian jauh lengkap dengan
kebahagiaan dan kekecewaan, namun secara keseluruhan ada kenikmatan yang terus
bisa dirasa. Berterimakasih untuk kenikmatan yang kita punya memang harus
menguras logika untuk menelusur dan menyadarinya. Disitulah rasa syukur sering
bermula, logika. Karena setiap manusia sering merasa menderita, penderitaan
yang disebabkan manusia lain, penderitaan yang disebabkan tidak terpenuhinya
keinginan. Terkadang kita hanya merasa biasa saja (tidak sedih, tidak juga
sial) namun kita merasa “menderita” hanya karena 1 saja keinginan yang tidak
terpenuhi.
Jika kembali pada menelusur kenikmatan,
apakah sanggup jika 1 kenikmatan yang saat ini kita rasakan diambil oleh
pemiliknya? Terlalu sok religius mungkin, namun setidaknya cukup kita sadari
bahwa kehilangan 1 kenikmatan saja dari sekian kenikmatan yang sudah kita
rasaka, tentu sangat berat.
Berterimakasih adalah kemampuan logika
menelusur kenikmatan, berterimakasih pada siapa saja yang mahluk dan yang
khalik. Yang hidup dan yang mati. Yang tampak dan yang tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar