Check out music from Dy Murwaningrum

https://soundcloud.com/dy-murwaningrum

Foto saya
Solo- Jogja- Bandung, Indonesia
mencari kata-kata, membenturkannya pada setiap bidang dan terus memantul...

Selasa, 11 Juli 2017

YOUTUBE: ANTARA KEBARUAN TEKNOLOGI DAN MENIRU, (WAJAH BARU BUDAYA ORAL/LISAN)

YOUTUBE: ANTARA KEBARUAN TEKNOLOGI  DAN MENIRU
                                     (WAJAH BARU BUDAYA ORAL/LISAN)                    



Youtube tentu bukan suatu hal yang asing, serupa media sosial bagi pengguna andorid.  Beragamnya content dalam youtube adalah perwujudan dari kompleksitas kebutuhan manusia akan audio visual. Mulai dari kebutuhan perut, pengetahuan, emosi, sampai pada persoalan biologis dan kebutuhan private manusia pun siap disantap. Cara memasak, belajar bermain biola, cara mengerjakan soal matematika, sampai cara menyetrika cepat, pijat refleksi sampai pijat plusplus. Rasanya sangat sulit bagi manusia diera modern untuk bersembunyi dari perkembangan teknologi. Rasanya apapun topeng yang ingin kita gunakan, youtube telah menyediakan wajahnya. 

Teknologi mendorong sekaligus menarik kita pada penemuan-penemuan yang semakin lama semakin terasa janggal jika tidak turut  menggunakannya. Teknologi berada dibelakang dan mendorong kita maju ke depan, sekaligus berada jauh di depan dan menarik kita untuk berlari cepat-cepat mengejar zaman. Teknologi berperan dalam menyuplai pengetahuan, pemikiran, dan tak jarang mempengaruhi perasaan termasuk sebagai media menyampaikan rasa yang pribadi. Hal yang terdengar dan terlihat sangat mempengaruhi pembentukan pemikiran kita. Telinga dan mata adalah dua dari indra manusia yang cukup berperan untuk menangkap kesan dan menerima pesan.

Mata seringkali melihat hal yang mungkin tidak ingin kita lihat, artinya mungkin terlihat atau hanya sepintas lalu lewat. Sama halnya yang terjadi pada telinga. Bunyi melintas pada telinga, kita yang memilih mana yang kita dengarkan dan mana yang harus diabaikan. Hampir dalam setiap pembelajaran baik yang bersangkutan dengan etika maupun pengetahuan, mata dan telinga merupakan senjata yang utama. Terlebih bagi kita yang tinggal di nusantara ini. Meski ada yang bersifat tertulis namun dalam keseharian, kita lebih banyak menggunakan mata dan telinga untuk menangkap tatacara, pelajaran, sikap, dan menganggap mana hal yang terlarang dan diijinkan.

Bukan tanpa akar mengapa kita lebih suka belajar melalui audio visual. Budaya mendengar dan melihat tanpa tulisan di Nusantara telah biasa dilakukan sejak ratusan atau ribuan tahun lalu, bahkan hampir semua tradisi yang kita warisi disampaikan secara tidak tertulis.

Tanpa Tulisan
Tanpa tulisan biasa dikenal dengan istilah budaya oral/lisan, yaitu menyampaikan pesan tanpa aksara. Mulut memiliki peran yang penting, bahkan kita memiliki budaya tutur yang cukup tinggi melalui dongeng, mitologi, dan larangan-larang yang langsung dipatuhi secara dogmatis.

Dalam budaya Jawa kita mengenal dengan istilah “Gethok Tular”, jika dicari padanannya mungkin mirip dengan “dor to dor” atau dari pintu ke pintu. “Gethok Tular” adalah upaya penyampaian berita melalui mulut ke mulut, dimana seseorang dengan sukarela menyampaikan suatu hal pada orang lain. Begitulah sistem budaya oral bertahan pada lintas generasi.

Budaya oral artinya mengandalkan ingatan, menaruh kuat-kuat hal-hal yang tidak tertulis pada memori, tentang apa yang kita pelajari. Arti yang lain adalah kesementaraan (dinilai sebagai kesementaraan karena dalam ucapan cukup mudah diingkari, atau dilupakan bahkan hilang begitu saja sebelum sempat disampaikan pada yang lain karena keterbatasan manusia). ‘Tanpa tulisan’ atau oral bukan selalu hanya terhubung pada kata-kata yang diucapkan (rasa yang dikecap lidah, disentuh kulit, aroma yang ditangkap hidung dll), namun juga termasuk suara/nada, tehnik/metode yang disampaikan dengan praktik tanpa tulisan. Budaya oral merupakan upaya penjagaan tradisi, bahasa, karya dan budaya secara turun temurun, meski beberapa hal kita tidak dapat mengkonfirmasi kebenarannya. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya pengetahuan yang terus terjaga hingga berabad-abad meski tanpa diaksarakan. Hampir semua ilmu memasak kita warisi tanpa tulisan, ilmu arsitektur tradisional, pertanian tradisional, dan lagu-lagu tradisi nusantara.

Budaya non tulis bukan berarti budaya rendah. Non tulis adalah upaya mencapai kebijaksanaan bagi budaya tertentu. Non tulis dan tulis sama-sama cara sebuah kebudayaan berjalan dari generasi ke generasi. Tulisan dapat membawa kita pada imajinasi tentang ribuan tahun lalu, memainkan musik-musik klasik dan romantik abad 17, 18, 19, memahami pemikiran melalui dokumentasi sastra dan lukisan-lukisan dizaman Mideaval atau Renaisance. Tulisan sering dikatakan sebagai keabadian, keterbukaan. Hal-hal yang sudah ditulis artinya sudah harus siap untuk direspon siapa saja, sangat terbuka. Saat kita mulai menoreh tulisan, artinya sekaligus kita siap mempertanggungjawabkan.

Tulis maupun non tulis, keduanya perlahan sudah memberi busana baru pada teknologi. Wajah teknologi lebih cantik sebagai media penyampai pesan yang akrab dengan keduanya (tulis-non tulis). Menulis adalah memelihara pemikiran. Dengan menulis maka hal-hal yang sudah kita lakukan, kita produksi, dan kita alami di masa lalu dapat dibaca dan menjadi pelajaran generasi selanjutnya. Mereka adalah jembatan antar zaman, kendaraan untuk melintasi zaman ke zaman.  Non tulis sama halnya menjaga diri dalam menyampaikan pemikiran. Dalam budaya oral, martabat manusia dijaga, tergantung pada lidahnya (ajining diri gumantung ing lati_salah satu falsafah Jawa tentang keharusan menjaga lisan, karena harga diri bermula dari lisan).

Teknologi selalu pandai memanfaatkan kebiasaan kita, memfasilitasinya. Budaya oral pun mencoba untuk diwadahinya. Dalam teknologi, budaya tulis dan non tulis seakan diringkas sehingga kita merasa mudah untuk menerimanya. Kalimat yang ditampilkan, baik dalam tulisan maupun oral di media sosial seakan-akan adalah citra kita. Orang memahaminya sebagai identitas diri kita, tanpa harus tahu kita siapa, latar belakang kita apa, mendapatkan ilmu dari mana. Saling meniru adalah sah asal tak diketahui, meski jika terungkap maka bully an luar biasa yang akan didapatkan.

Youtube, produk budaya dan budaya lisan, adalah keterkaitan yang sangat erat. Youtube merupakan pilihan mudah, murah sebagai perpanjangan presentasi karya yang kita bikin. Pembelajaran melalui youtube pada bidang-bidang yang terbiasa disampaikan secara oral lebih dapat diterima. Bahkan beberapa kebiasaan berubah pada pembelajaran yang seharusnya kita pelajari secara tertulis, dapat diringkas melalui audio visual.

Kesuksesan yang kita tuai karena mempercayai youtube sebagai media promosi tentu akan berdampak pada popularitas. Tidak jarang saya mengamati tentang berapa lama nama kita bertahan untuk dikenal orang. Apakah hanya sebatas di layar saja, atau memang benar begitu dalam dunia nyata. Akun-akun rahasia seringkali menjadi guru, bintang dan panutan. Youtube menjadi salah satu media belajar. Belajar apa saja. Pendekatannya dengan mendengarkan ceramah serasa langsung di hadapan kita. Kita dapat dengan cepat menyerap tutorial-tutorial karena menyimak dengan mata dan telinga. Meski tidak kita pungkiri manfaatnya luar biasa. (Para pendidik juga memiliki kecenderungan mempelajari banyak hal yang akan disampaikan pada siswa melalui youtube, akses yang sama juga bagi para siswa)

Youtube bersifat searah, kita boleh menyimak mengikuti dan atau membuangnya (tidak mengikutinya).  Teknologi sudah hampir menguasai semuanya. Murid-murid tak perlu datang ke sekolah, pemain musik tak perlu kursus apalagi sekolah musik, ibu- ibu tak perlu menanyai ibunya tentang resep-resep masakan. Saya pun sepakat dengan manfaatnya dan efisiennya, namun ada yang tertinggal yaitu makna. Reinterpretasi lagu sulit dicari, karena yang ada adalah peniruan nada yang sama persis namun entah bagaimana dengan kesan yang ingin dibangun. Murid yang tak perlu datang ke sekolah akan bisa mengerjakan soal-soal yang sama namun bagaimana dengan cara mereka mengenali soal-soal yang aplikatif pada lingkungannya. Resep-resep masakan dapat kita ikuti namun rasa masakan ibu yang kita cari, bagaimana?

Mewakilkan mungkin tidak sulit, tapi tidak hadir tetaplah ketiadaan. Sebagaimana rasa yang ekspresinya mudah disampaikan lewat berbagai media tak nyata, namun ketidakhadiran adalah ketiadaan (meski manusia sebagai mahluk yang adaptatif mampu memaksakan rasa mengikuti hal-hal yang dirasa populer atau banyak digemari yang lain). Ada bagian tubuh manusia yang memproduksi rasa, bisa diekspresikan namun tidak selalu bisa ditransfer persis sama meski berumus tetap dan tepat.

Teknologi bukan musuh, dia adalah teman yang sesekali mengecewakan dan sekali waktu menenangkan. Sedikit maksud pribadi menyindir seorang teman, bahwa tidak ada hal yang pantas diagungkan setinggitingginya termasuk teknologi.
Selamat menjadi bijak, selamat mengelola teknologi agar kita tetap dapat menjadi manusia dengan citarasa manusia.

Sumber Bacaan:
1.      Metode Kajian Tradisi Oral (Kumpulan artikel dan jurnal), Yayasan Obor
2.      Virus Setan, Slamet Abdul Sjukur, Art Music Today
3.      Digital Culture , Oxford University Press
4.      Kerumunan Terakhir, Okky Madasari, Gramedia Pustaka


Tidak ada komentar:

Posting Komentar