YOUTUBE: ANTARA
KEBARUAN TEKNOLOGI DAN MENIRU
(WAJAH BARU
BUDAYA ORAL/LISAN)
Youtube
tentu bukan suatu hal yang asing, serupa media sosial bagi pengguna andorid. Beragamnya content dalam youtube adalah
perwujudan dari kompleksitas kebutuhan manusia akan audio visual. Mulai dari
kebutuhan perut, pengetahuan, emosi, sampai pada persoalan biologis dan
kebutuhan private manusia pun siap disantap. Cara memasak, belajar bermain
biola, cara mengerjakan soal matematika, sampai cara menyetrika cepat, pijat
refleksi sampai pijat plusplus. Rasanya sangat sulit bagi manusia diera modern
untuk bersembunyi dari perkembangan teknologi. Rasanya apapun topeng yang ingin
kita gunakan, youtube telah menyediakan wajahnya.
Teknologi
mendorong sekaligus menarik kita pada penemuan-penemuan yang semakin lama semakin
terasa janggal jika tidak turut menggunakannya. Teknologi berada dibelakang
dan mendorong kita maju ke depan, sekaligus berada jauh di depan dan menarik
kita untuk berlari cepat-cepat mengejar zaman. Teknologi berperan dalam menyuplai
pengetahuan, pemikiran, dan tak jarang mempengaruhi perasaan termasuk sebagai media
menyampaikan rasa yang pribadi. Hal yang terdengar dan terlihat sangat
mempengaruhi pembentukan pemikiran kita. Telinga dan mata adalah dua dari indra
manusia yang cukup berperan untuk menangkap kesan dan menerima pesan.
Mata
seringkali melihat hal yang mungkin tidak ingin kita lihat, artinya mungkin
terlihat atau hanya sepintas lalu lewat. Sama halnya yang terjadi pada telinga.
Bunyi melintas pada telinga, kita yang memilih mana yang kita dengarkan dan mana
yang harus diabaikan. Hampir dalam setiap pembelajaran baik yang bersangkutan
dengan etika maupun pengetahuan, mata dan telinga merupakan senjata yang utama.
Terlebih bagi kita yang tinggal di nusantara ini. Meski ada yang bersifat
tertulis namun dalam keseharian, kita lebih banyak menggunakan mata dan telinga
untuk menangkap tatacara, pelajaran, sikap, dan menganggap mana hal yang
terlarang dan diijinkan.
Bukan
tanpa akar mengapa kita lebih suka belajar melalui audio visual. Budaya mendengar
dan melihat tanpa tulisan di Nusantara telah biasa dilakukan sejak ratusan atau
ribuan tahun lalu, bahkan hampir semua tradisi yang kita warisi disampaikan
secara tidak tertulis.
Tanpa Tulisan
Tanpa
tulisan biasa dikenal dengan istilah budaya oral/lisan, yaitu menyampaikan
pesan tanpa aksara. Mulut memiliki peran yang penting, bahkan kita memiliki
budaya tutur yang cukup tinggi melalui dongeng, mitologi, dan larangan-larang
yang langsung dipatuhi secara dogmatis.
Dalam
budaya Jawa kita mengenal dengan istilah “Gethok
Tular”, jika dicari padanannya mungkin mirip dengan “dor to dor” atau dari pintu ke pintu. “Gethok Tular” adalah upaya penyampaian berita melalui mulut ke mulut,
dimana seseorang dengan sukarela menyampaikan suatu hal pada orang lain. Begitulah
sistem budaya oral bertahan pada lintas generasi.
Budaya
oral artinya mengandalkan ingatan, menaruh kuat-kuat hal-hal yang tidak
tertulis pada memori, tentang apa yang kita pelajari. Arti yang lain adalah
kesementaraan (dinilai sebagai kesementaraan karena dalam ucapan cukup mudah
diingkari, atau dilupakan bahkan hilang begitu saja sebelum sempat disampaikan
pada yang lain karena keterbatasan manusia). ‘Tanpa tulisan’ atau oral bukan
selalu hanya terhubung pada kata-kata yang diucapkan (rasa yang dikecap lidah,
disentuh kulit, aroma yang ditangkap hidung dll), namun juga termasuk
suara/nada, tehnik/metode yang disampaikan dengan praktik tanpa tulisan. Budaya
oral merupakan upaya penjagaan tradisi, bahasa, karya dan budaya secara turun temurun,
meski beberapa hal kita tidak dapat mengkonfirmasi kebenarannya. Hal ini
terbukti dengan masih banyaknya pengetahuan yang terus terjaga hingga berabad-abad
meski tanpa diaksarakan. Hampir semua ilmu memasak kita warisi tanpa tulisan,
ilmu arsitektur tradisional, pertanian tradisional, dan lagu-lagu tradisi
nusantara.
Budaya
non tulis bukan berarti budaya rendah. Non tulis adalah upaya mencapai
kebijaksanaan bagi budaya tertentu. Non tulis dan tulis sama-sama cara sebuah
kebudayaan berjalan dari generasi ke generasi. Tulisan dapat membawa kita pada
imajinasi tentang ribuan tahun lalu, memainkan musik-musik klasik dan romantik
abad 17, 18, 19, memahami pemikiran melalui dokumentasi sastra dan
lukisan-lukisan dizaman Mideaval atau Renaisance. Tulisan sering dikatakan sebagai
keabadian, keterbukaan. Hal-hal yang sudah ditulis artinya sudah harus siap
untuk direspon siapa saja, sangat terbuka. Saat kita mulai menoreh tulisan,
artinya sekaligus kita siap mempertanggungjawabkan.
Tulis
maupun non tulis, keduanya perlahan sudah memberi busana baru pada teknologi.
Wajah teknologi lebih cantik sebagai media penyampai pesan yang akrab dengan
keduanya (tulis-non tulis). Menulis adalah memelihara pemikiran. Dengan menulis
maka hal-hal yang sudah kita lakukan, kita produksi, dan kita alami di masa
lalu dapat dibaca dan menjadi pelajaran generasi selanjutnya. Mereka adalah
jembatan antar zaman, kendaraan untuk melintasi zaman ke zaman. Non tulis sama halnya menjaga diri dalam
menyampaikan pemikiran. Dalam budaya oral, martabat manusia dijaga, tergantung
pada lidahnya (ajining diri gumantung ing
lati_salah satu falsafah Jawa tentang keharusan menjaga lisan, karena harga
diri bermula dari lisan).
Teknologi
selalu pandai memanfaatkan kebiasaan kita, memfasilitasinya. Budaya oral pun
mencoba untuk diwadahinya. Dalam teknologi, budaya tulis dan non tulis seakan
diringkas sehingga kita merasa mudah untuk menerimanya. Kalimat yang
ditampilkan, baik dalam tulisan maupun oral di media sosial seakan-akan adalah
citra kita. Orang memahaminya sebagai identitas diri kita, tanpa harus tahu
kita siapa, latar belakang kita apa, mendapatkan ilmu dari mana. Saling meniru
adalah sah asal tak diketahui, meski jika terungkap maka bully an luar biasa
yang akan didapatkan.
Youtube,
produk budaya dan budaya lisan, adalah keterkaitan yang sangat erat. Youtube
merupakan pilihan mudah, murah sebagai perpanjangan presentasi karya yang kita
bikin. Pembelajaran melalui youtube pada bidang-bidang yang terbiasa
disampaikan secara oral lebih dapat diterima. Bahkan beberapa kebiasaan berubah
pada pembelajaran yang seharusnya kita pelajari secara tertulis, dapat
diringkas melalui audio visual.
Kesuksesan
yang kita tuai karena mempercayai youtube sebagai media promosi tentu akan
berdampak pada popularitas. Tidak jarang saya mengamati tentang berapa lama
nama kita bertahan untuk dikenal orang. Apakah hanya sebatas di layar saja,
atau memang benar begitu dalam dunia nyata. Akun-akun rahasia seringkali
menjadi guru, bintang dan panutan. Youtube menjadi salah satu media belajar. Belajar
apa saja. Pendekatannya dengan mendengarkan ceramah serasa langsung di hadapan
kita. Kita dapat dengan cepat menyerap tutorial-tutorial karena menyimak dengan
mata dan telinga. Meski tidak kita pungkiri manfaatnya luar biasa. (Para
pendidik juga memiliki kecenderungan mempelajari banyak hal yang akan
disampaikan pada siswa melalui youtube, akses yang sama juga bagi para siswa)
Youtube
bersifat searah, kita boleh menyimak mengikuti dan atau membuangnya (tidak
mengikutinya). Teknologi sudah hampir menguasai
semuanya. Murid-murid tak perlu datang ke sekolah, pemain musik tak perlu
kursus apalagi sekolah musik, ibu- ibu tak perlu menanyai ibunya tentang
resep-resep masakan. Saya pun sepakat dengan manfaatnya dan efisiennya, namun
ada yang tertinggal yaitu makna. Reinterpretasi lagu sulit dicari, karena yang
ada adalah peniruan nada yang sama persis namun entah bagaimana dengan kesan
yang ingin dibangun. Murid yang tak perlu datang ke sekolah akan bisa
mengerjakan soal-soal yang sama namun bagaimana dengan cara mereka mengenali
soal-soal yang aplikatif pada lingkungannya. Resep-resep masakan dapat kita
ikuti namun rasa masakan ibu yang kita cari, bagaimana?
Mewakilkan mungkin tidak sulit, tapi
tidak hadir tetaplah ketiadaan. Sebagaimana rasa yang ekspresinya mudah
disampaikan lewat berbagai media tak nyata, namun ketidakhadiran adalah
ketiadaan (meski manusia sebagai mahluk yang adaptatif mampu memaksakan rasa
mengikuti hal-hal yang dirasa populer atau banyak digemari yang lain). Ada
bagian tubuh manusia yang memproduksi rasa, bisa diekspresikan namun tidak
selalu bisa ditransfer persis sama meski berumus tetap dan tepat.
Teknologi
bukan musuh, dia adalah teman yang sesekali mengecewakan dan sekali waktu
menenangkan. Sedikit maksud pribadi menyindir seorang teman, bahwa tidak ada
hal yang pantas diagungkan setinggitingginya termasuk teknologi.
Selamat
menjadi bijak, selamat mengelola teknologi agar kita tetap dapat menjadi
manusia dengan citarasa manusia.
Sumber
Bacaan:
1.
Metode Kajian Tradisi
Oral (Kumpulan artikel dan jurnal), Yayasan Obor
2.
Virus Setan, Slamet
Abdul Sjukur, Art Music Today
3.
Digital Culture ,
Oxford University Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar