Check out music from Dy Murwaningrum

https://soundcloud.com/dy-murwaningrum

Foto saya
Solo- Jogja- Bandung, Indonesia
mencari kata-kata, membenturkannya pada setiap bidang dan terus memantul...

Kamis, 21 Desember 2017

Siapa manusia dan kehidupannya?

Manusia, berikatan satu sama lain, berkomunikasi dengan ciptaan-ciptaannya sendiri. Sesekali ia dibawa maju, ditarik oleh ciptaannya sendiri, hingga menjauhi dirinya. Sesekali ia dipaksa mundur secara liminal, menuju kenangan kenangannya, meski tak seberapa lama.

Ciptaan manusia yang nyata, halusinasi dan drama-drama yang ingin ia mainkan makin menjauhkan manusia dari dirinya. Manusia menjauh dari pengetahuannya akan dirinya sendiri, mendekati definisi-definisi yang dipajang di etalase keinginan manusia modern. Apa yang tersisa dari dirinya untuk dirinya sendiri? Apa yang disisakan untuk orang lain? Apa yang bangunnya, runtuhkah? Apa yang hakiki? pertanyaan pertanyaan itu selalu bergelantungan, menunggu diambil pemiliknya seperti buah mangga yang matang di pohon, namun dibiarkan hingga jatuh dan membusuk.

Kita terlalu takut diusik oleh pertanyaan dan kegiatan mencari jawaban. Kita melaju dan terus melaju menuju antariksa, menuju relung relung bumi, dan makin tak menjawab pertanyaan. Hanya memenuhi ambisi-ambisi, mengukir prestasi membuat peradaban. Peradaban manusia pun tak pernah abadi, terus-terusan berubah, menjauhi keasliannya.

Sesekali, beberapa manusia merindukan wujud-wujud lamanya, ketradisiannya, kenaturalannya, kealamiahannya. Lalu sekehendaknya dia menjadi turis di bangsa yang dianggap lebih asli. Kehilangan kekuatan untuk memahami apa yang membuat diri bahagia adalah ketidakbahagiaan yang utuh.

Apa yang hakiki? saya melihat banyak hal hidup tapi bukan kehidupan. Apa yang sedang dihidupi dan dihidukan manusia? Hanya dirinya sendiri? Manusia menjawab ambisi-ambisinya dengan istilah peradaban yang mengkiblatkan diri pada dirinya sendiri, seolah lupa bahwa tanpa yang lain kita bukanlah manusia.

Bagi manusia yang tak sempat melihat siklus peradaban, tentu merasa bahwa doktrin-doktrin yang telah hadir padanya lah yang terbenar. Namun bagi yang menyimak siklus peradaban, akan mengatakan tak ada yang abadi dan hidup perlu dijalani dengan bahagia.

Bahagia pun terlalu dinamis definisinya. Hari ini kebebasan, besok uang, besoknya lagi pengetahuan, dan besoknya lagi traveling, minggu depannya lagi berubah dan terus. Kebahagiaan muncul bersamaan dengan harga-harga mahal, dan merek merek dagang terkenal. Kebahagiaan turut diperdagangkan, selerapun turut dipermainkan. Apa kau masih bisa berdiri untuk sekedar melihat kehidupan?

Semua mahluk adalah hidup, namun suara untuk menghidupkan kehidupan seperti nada disonan yang mengganggu, padahal mereka memang wujud.

Pernahkah bertanya pada dirimu, wahai manusia-manusia berpendidikan tinggi, duduk di kursi yang ditinggikan, kursi yang disucikan dan dilindungi oleh segala aturan tertulis serta dilindung manusia-manusia tertentu yang berkepentingan.

Setarakah kertas-kertas pendidikanmu, tinggi kursimu, baju sucimu, dan jabatanmu dengan pengetahuanmu? Setarakah dengan hidupmu untuk kehidupan?

Paling nikmat memang nyaman diantara meja kursi dan whiteboard, paling aman berada dibalik tirai-tirai pakem tanpa pikir lagi, paling enak tak mau mengurangi kenyamanan untuk sedikit saja berbagi rasa aman bagi mahluk-mahluk lain. Sebagian lainnya lagi, adalah mereka-mereka yang terus menutupi tanggungjawab dengan ide-ide dan prestasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar