Check out music from Dy Murwaningrum

https://soundcloud.com/dy-murwaningrum

Foto saya
Solo- Jogja- Bandung, Indonesia
mencari kata-kata, membenturkannya pada setiap bidang dan terus memantul...

Kamis, 22 Maret 2018

Cerita Kosong Perpustakaan: Kemacetan dan Harapan



Di tengah-tengah tulisan-tulisan serius saya, tetiba saja saya fokus pada beberapa orang di perpustakaan yang mulai ramai. Kiranya tidak ada yang jauh berbeda pada jam-jam makan siang. Jika bukan karena makanan dan wifinya sekaligus, perpustakaan-perpustakaan milik pribadi tidak akan ramai antara jam 12 siang hingga jam 2 siang atau selepas jam kerja pukul empat sore. Sedang pada perpustakaan semi konvensional, seperti perpus-perpus kampus yang hanya menyediakan ruangan baca dan wifi, tentu akan tutup di jam 12 siang karena istirahat. Dan pengunjung terusir.

Tipe-tipe perpustakaan konvensional dan semi konvensional yang tutup di jam 12 siang, agaknya membuat emosi kita tiba-tiba berada di ujung-ujung kepala. Memutuskan saat membaca sebelum terhenti sendiri, rasanya memerosotkan rasa penasaran. Seperti saat kita sedang bercerita antusias, tiba-tiba lawan bicara berkomunikasi dengan androidnya. 

Siang ini, keramaian gurauan dan khas suara sendok garpu yang berbentur dengan piring serta aroma rokok dari bagian ruang smooking area mulai terbawa udara ke arah telinga dan hidung saya. Ada baiknya akhiri saja acara menulis hari ini. Buka lembar baru dan menulis cerita kosong dari perpustakaan, padatnya jalan raya dan perdebatan pagi tadi.

Bandung, cantik-cantik sadis. Begitu kata saya yang baru menetap 3 tahunan ini. Ada kalanya memang menyejukkan, meneduhkan, ramah dan sangat memberi semangat. Namun, tidak jarang juga melelahkan, pusing juga hinggap sebentar-sebentar. Aroma rokok hampir di setiap sudut jalan atau ruang-ruang nongkrong, membuat saya mengakrabi AC dan mall. Sopir angkot yang marah saat kita menunjukkan rasa terganggu karena asap rokoknya yang keluar sekaligus dari rokok, mulut dan hidungnya, membuat saya lebih senang menyopir sendiri. 

Puntung rokok, kulit kacang atau gelas bekas air mineral yang dilempar dari auto window mobil lawas sampai avansa atau pajero sesekali terlihat tiap pagi. Kadang terlihat 2x kadang juga sekali saja. Bukan hanya dari sopir angkot, mungkin dari pegawai bank, dosen, atau anak-anak kecil di mobil jemputan.

Air yang menyapa sambil menggebyur seolah terbahak-bahak dalam parasnya yang coklat campur lumpur atau kadang hitam tiap hujan datang, membuat saya tidak semena-mena lagi mengkonsumsi air kemasan dan stereofom. Lubang-lubang jalan seperti habis dihujani meteor, bertahan hingga durasi tahunan. Hari ini jumpa, esok jumpa, tahun depan pun kadang masih jumpa juga. Yang mengasyikkan adalah tengah kota tetap cantik, secantik pohon-pohonnya yang menebar oksigen tanpa syarat. Anak muda yang santu dan sopan, memberi salam hormat yang membuat saya haru, mencium tangan dan membentuk suka cita di pikiran saya. Membuat saya belajar, bagaimana hidup senantiasa harus dinikmati, disyukuri dan tersenyum. 

Bandung yang cantik, ramah, hanya kadang sadisnya membuat beberapa teman saya trauma untuk datang kembali kemari. Bagi saya, kota ini adalah gairah. Pemuda-pemudi baru yang saya temui, membuat saya merasa memiliki hidup dan tentunya harapan, meski masih sedikit. Harapan yang mungkin terlalu muluk-muluk. Harapan untuk mengajak mereka mengobrol tentang buku-buku di perpustakaan yang saya singgahi saat ini. Berbincang tentang pertunjukan sehabis kita tonton. Kegiatan-kegiatan itu yang saya rindukan, sama ketika saya tergabung dalam sebuah Lab Music bernama BnG. Kami berdiskusi setiap hari mulai dari sound gamelan gratis dari DAW Sonar, sampai film transformer yang saya agak tidak paham atau menduga-duga apa sebenarnya Cupu Manik Astagina dalam cerita Ayu Utami . Kumpul di warong kopi dan mengobrolkan ateisme, Ainun Najib, sampai Blues Merbabu atau folklore Hongaria. Baru berhenti kala pagi, kala ayam terbagun, atau speaker masjid mulai "kresek..kresek.. tes...tes..", sebelum Adzan berkumandang.

Namun, begitulah hidup. Kita mungkin akan hanya senantiasa didekatkan dengan orang-orang yang sering berdebat dengan kita. Berseteru tentang apa beda Sastra Pop dan Populer? Berdebat tentang tradisi dan modernitas. Berbantahan tentang tanggal berapa hari ini. Begitulah sedikit banyak kreativitas terasah, ide-ide mulai muncul, menjadikan siapa kita. Bisa apa kita. Seberapa kita. Dan...apakah kita berguna di hidup ini, atau malah menambah luka orang-orang? Terkadang kita merasa ingin menjadi vegetarian, hidup sederhana, memakan hasil tangan kita sendiri. Sebentar kemudian, kita ingin seperti orang-orang yang nampak cerah dalam balutan berbagai merek dagang kelas atas. Namun, secepat kilat kita takut banjir bandang, atau gempa yang teramalkan, sementara kota ini konon belum punya Badan Penanggulangan Bencana yang sangat baik. so....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar